Diprediksimanusia masa depan mati tidak karena penyakit. Dunia kedokteran telah siap memasuki era baru yakni era otak-atik genetik lewat teknologi nano. Hal ini diungkapkan oleh dua ilmuwan yakni insinyur genetik, José Luis Cordeiro, dan matematikawan Cambridge, David Wood. Mereka baru saja meluncurkan bukunya The Death of Death di Barcelona.
menyambutbaik hadirnya buku Islam dan Masa Depan Dunia: Politik dan Ekonomi. MODEL KEBIJAKAN FISKAL DALAM TINJAUAN SISTEM EKONOMI ISLAM 273 SUMADI (ITB AAS Indonesia) 273 Tentang Penulis 287.
Perandan sumbangsih umat Islam dalam kemajuan peradaban dunia diakui oleh seorang orientalis Barat yang bernama Gustave Lebon. Dia mengatakan "orang-orang Arablah yang menyebabkan kita mempunyai peradaban karena mereka adalah iman kita selama enam abad. Dikalangan Barat, Islam memegang peran penting sebagai donator kemajuan peradaban mereka
cash. This article elaborates the phenomenon of fundamentalism and the future of Islamic political ideology. Islamic ideology represents religious views, ideas and movements which aspire to bring Islam into practice in state and societal affairs. One variant of Islamic ideologies is fundamentalism which endeavors to return religious practices back to the pristine Islam based on the Qur’ân and al-Hadîth. Fundamentalism rejects all modes of understand-ding which are not based on the Qur’ân and al-Hadîth, and refuses secular methodology in interpreting the Qur’ân. This type of Islamic ideology found its momentum when Saudi Arabia regime officially adopted Wahhabism, and when Egyptian intellectuals were united to fight against modernity. Both Saudi Arabia and Egypt became seeding ground for fundamentalism. Some young muslim scholars who studied there became agents for the dissemination dan transmission of the fundamentalist ideology throughout the world. In Indonesia, this ideology have developed since independence and the drafting of the constitution. In the Indonesian context, resistence from traditionalist and nationalit groups were so strong that enable to dam up the spread of fundamentalis ideas. However, fundamentalist ideology remains an important challenge for the future of Indonesian Islam. Discover the world's research25+ million members160+ million publication billion citationsJoin for free ISLAMICA Jurnal Studi Keislaman Volume 9, Nomor 1, September 2014; ISSN 1978-3183; 54-80 Abstract This article elaborates the phenomenon of fundamentalism and the future of Islamic political ideology. Islamic ideology represents religious views, ideas and movements which aspire to bring Islam into practice in state and societal affairs. One variant of Islamic ideologies is fundamentalism which endeavors to return religious practices back to the pristine Islam based on the Qur’ân and al-H}adîth. Fundamentalism rejects all modes of understand-ding which are not based on the Qur’ân and al-H}adîth, and refuses secular methodology in interpreting the Qur’ân. This type of Islamic ideology found its momentum when Saudi Arabia regime officially adopted Wahhabism, and when Egyptian intellectuals were united to fight against modernity. Both Saudi Arabia and Egypt became seeding ground for fundamentalism. Some young muslim scholars who studied there became agents for the dissemination dan transmission of the fundamentalist ideology throughout the world. In Indonesia, this ideology have developed since independence and the drafting of the constitution. In the Indonesian context, resistence from traditionalist and nationalit groups were so strong that enable to dam up the spread of fundamentalis ideas. However, fundamentalist ideology remains an important challenge for the future of Indonesian Islam. Keywords Fundamentalism; Islamic ideology. Pendahuluan Perbincangan masalah ideologi tidak pernah akan habis seiring dengan semakin kuatnya pengaruh ilmu pengetahuan dalam kehidupan manusia. Diskursus ideologi selalu bersamaan dengan perkembangan ilmu pengetahuan, dan di ranah ilmu pengetahuan itu, ideologi memeroleh tempat untuk bersemayam, tumbuh subur, berdialektis dan terjadi inovasi-inovasi beragam. Bahkan menurut Fundamentalisme dan Masa Depan Volume 9, Nomor 1, September 2014, ISLAMICA pandangan yang lebih radikal, justru ilmu pengetahuan berasal dari Ideologi memberi bentuk dan legitimasi terhadap ilmu pengetahuan. Dalam perkembangannya, ideologi memberi pengaruh yang cukup besar terhadap suatu bangsa dan negara. Munculnya blok aliran sosialis dan kapitalis dalam sistem kenegaraan merupakan bagian tak terpisahkan dari polarisasi pengaruh ideologi dalam suatu negara. Hampir semua masalah di dunia tidak bisa dilepaskan—atau sengaja dihubungkan dengan persoalan ideologis, baik ideologi kanan, kiri atau yang berada di antara keduanya. Bagaimana dengan Islam? Islam adalah agama wahyu yang kebenarannya merupakan keniscayaan bagi setiap pemeluknya. Pada bagian tertentu Islam diterima secara as it is, tapi pada bagian lain Islam sudah menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan manusia, menjadi tuntunan hidup, way of life bahkan menjadi ideologi. Masuknya Islam sebagai ideologi merupakan bagian dari proses sejarah, di mana manusia tidak selalu puas dengan nalar teks yang mati, dan kemudian berusaha menghidupkan teks tersebut melalui dialog dan pemaknaan yang lebih terbuka. Dari sinilah proses produksi makna ilmu pengetahuan terjadi, dari proses produksi makna baru kemudian mengejewantah sebagai ideologi baru umat. Persoalan kemudian, di mana letak karakteristik ideologi Islam dan apa hubungannya dengan ideologi-ideologi besar yang lain, artikel ini secara simplistik akan memetakan persoalan tersebut menjadi kerangka pikir yang mudah dipahami. Objektifikasi Ideologi Istilah ideologi terutama dilekatkan dengan aspek politik pemerintahan atau gerakan politik suatu negara. Di Indonesia misalnya, Pancasila diakui sebagai ideologi negara. Pancasila ini terdapat di dalam konstitusi UUD 1945, tepatnya di dalam Pembukaan UUD 1945. Sebab itu, Pancasila menjadi cara pandang bangsa Indonesia, baik terhadap diri, lingkungan, negara, maupun dunia internasional. Seringkali jika terjadi konflik antar-kelompok di dalam masyarakat, Pancasila dijadikan rujukan untuk memeroleh titik temu. Sosialisasi Pancasila sebagai ideologi negara secara aktif dilakukan pemerintah melalui aneka cara. 1 Tim Dant, “A Modern Approach to Ideological Critique” dalam Knowledge, Ideology and Discourse A Sociological Perspective London Routledge, 1991, 71. ISLAMICA, Volume 9, Nomor 1, September 2014 Pancasila merupakan salah satu contoh dari ideologi yang hidup di dunia ini. Pertanyaan yang layak diajukan lebih lanjut adalah, apa yang disebut dengan ideologi? Secara etimologis, ideologi berasal dari kata “ideo” dan “logos”. Ideo berarti gagasan-gagasan, sementara logos adalah ilmu. Jadi, secara etimologis asal-usul bahasa ideologi berarti ilmu tentang gagasan-gagasan atau ilmu yang memelajari asal-usul ide. Ada pula yang menyatakan ideologi sebagai seperangkat gagasan dasar tentang kehidupan dan masyarakat, misalnya pendapat yang bersifat agama ataupun politik. Selain makna etimologis, ideologi dapat dikatakan mengacu pada apa yang orang pikir dan percaya mengenai masyarakat, kekuasaan, hak, tujuan kelompok, yang kesemuanya menentukan jenis tindakan mereka. Ideologi berpengaruh terhadap tindakan politik tertentu. Apa yang orang pikir dan percaya mengenai masyarakat ini dapat berkisar pada bidang ekonomi, politik, sosial, dan filosofis. Tidak ada pengertian yang pasti tentang ideologi, semua tergantung pada tujuan ideologi yang dimaksud. Dari tujuan tersebut kemudian melahirkan pengertian yang bisa dipahami. Franz Magnis-Suseno melihat ideologi dalam tiga aspek pertama, ideologi sebagai kesadaran palsu. Di kalangan filsuf Barat ideologi mempunyai konotasi negatif, klaim yang tidak wajar atau sebuah teori yang tidak berorientasi pada kebenaran melainkan kepada pihak yang memropagandakannya. Dalam kata lain ideologi dianggap sebagai sistem berpikir yang sudah terdistorsi, baik disadari atau tidak. Kedua, ideologi dalam arti netral, yakni ideologi yang dipakai sebagai “ideologi negara” seperti ideologi komunis, ideologi Pancasila. Ideologi dimaksud dianggap suatu sistem berpikir, nilai, sikap sebuah gerakan. Berbeda dengan ideologi pada umumnya, ideologi negara ideological state apparatus adalah bukan ideologi dalam arti yang sebenarnya yang merupakan ekspresi dominasi kelas, bukan pula untuk mengatur kelas sosial melainkan terjadi secara simultan dan kontradiktif dengan ideologi yang ideologi dianggap sebagai keyakinan yang tidak ilmiah. Pemikiran ini muncul dari kalangan filsuf yang berhaluan positivistik yang memandang pikiran ideologi sulit diterima secara ilmiah karena tidak bisa diukur. Keempat, pikiran ideologis. Berbeda dengan ideologi, “ideologis” merupakan tuduhan bahwa argumentasi, teori atau nilai, Michel Pecheux, “The Mechanism of Ideological mis-Recognition” dalam Slavoj Zizek ed., Mapping Ideology London UK, 1994, 142. Fundamentalisme dan Masa Depan Volume 9, Nomor 1, September 2014, ISLAMICA atau cita-cita tidak ditujukan demi kebenaran dan nilai etisnya melainkan demi kepentingan non-etis tertentu yang memberikan pengertian yang lebih mendalam tentang ideologi, terlebih dahulu harus mendalami tentang sejarah munculnya teori ideologi. Ideologi menurut kalangan idealis adalah kumpulan ide-ide yang semata-mata merupakan produk pemikiran dan tidak memiliki basis meterial. Kaum idealis menganggap produksi ide terjadi sedemikian rupa dan tidak memiliki hubungan dengan kenyatan lain di luar alam pikiran, dan ide ini menentukan relasi manusia dalam perkembangan sejarah. Sementara menurut Karl Mannheim 1893-1947 ide-ide dan pemikiran bukan hasil murni kognisi tetapi dipengaruhi oleh konteks sosial. Ini bisa dilacak ke belakang melalui filsafat dari Larrain hingga Machiavelli pada abad 15. Pada abad 17 Francis Bacon telah memberi perhatian pada ciri sosial ilmu pengetahuan yang mengandung distorsi, seperti tampak dalam teorinya tentang “idol”. Teori ini menjelaskan bahwa produksi pengetahuan yang melahirkan ide yang keliru atau terdistorsi tidak bisa dilepaskan dari konteks sosial. Teori Bacon dianggap sebagai versi awal tentang teori ideologi. Teori Bacon ini berkaitan dengan teori Mannheim tentang konsepsi partikular ideologi, dalam pengertian bahwa teori itu berkaitan dengan proses psikologis. Bacon tertarik pada ciri-ciri sosial dan psikologis pengetahuan yang menghasilkan falsifikasi. Sementara itu Althusser mengembangkan tesis bahwa ideologi memresentasikan relasi-relasi imajiner individu dengan kondisi riil eksistensi juga, ideologi memiliki basis meterial yang ditandai dengan aparatus dan politik. Relasi imajiner adalah material, yaitu tindakan atau praktik individu yang mengalir secara bebas dari Althusser ilmu pengetahuan merupakan bentuk ideal yang memotivasi perjuangan dalam ideologi. Dalam Franz Magnis-Suseno, Filsafat sebagai Ilmu Kritis Yogyakarta Penerbit Kanisius, 1995, 229-231. Tim Dant, “A Modern Approach”, 57. Ibid., 56. Althusser merupakan pemikir ideologi modern, seangkatan dengan Jurgen Habermas yang dikenal dengan kritik ideologinya. Menurutnya, kritik ideologi menjadi tidak sekedar basis pada penumpahan cacian atas pemikir-pemikir yang telah merasionalisasi sistem ekonomi dan kelas yang eksploitatif. Konsen mereka ialah untuk memahami mekanisme yang menjaga kapitalisme tetap dan membuatnya tahan terhadap tantangan-tantangan. Ibid., 62. Ibid., 59. ISLAMICA, Volume 9, Nomor 1, September 2014 pengertian ini, ilmu bukanlah katagori sosial dan bukan pula katagori epistemologis. Sebaliknya ilmu dapat dipahami sebagai respons terhadap kondisi eksistensi material dan ideologis yang menolak kondisi tertentu. Sementara itu penisbatan ideologi sebagai kesadaran palsu tidak bisa dilepaskan dari pemikiran Marx. Dalam German Ideology, Marx dan Engels menjelaskan perkembangan historis kesadaran manusia dalam kaitan dengan material dan menyebutkan adanya dua tahap penting yang ditandai dengan pembagian kerja mental manual. Pada tahap pertama, kesadaran dan pemikiran dikaitkan dengan proses prilaku material, sementara tahap kedua kesadaran terpisah dari tindakan praktis. Menurut Marx, kesadaran juga bersifat ideologis, dalam pengertian bahwa dalam proses kehidupan historis keadaan manusia muncul terbalik seperti camera onscura, dan hantu yang dibentuk oleh manusia juga merupakan sublimasi penghalusan dari proses material mereka. Jadi ideologi menurut Marx 1818-1883 merupakan kesadaran yang mengacu pada nilai-nilai moral tinggi dengan menurut kenyataan bahwa di belakang nilai-nilai luhur itu tersembunyi kepentingan-kepentingan egois kelas-kelas penguasa. Nilai dan pandangan moral mempunyai fungsi mendukung struktur-struktur kekuasaan dalam Magnis-Suseno ada tiga macam ideologi yang berkembang di dunia. Pertama, ideologi penuh atau juga disebut dengan ideologi tertutup. Ideologi tertutup tidak diambil dari masyarakat, melainkan merupakan pikiran sebuah elite yang harus dipropagandakan dan disebarkan kepada masyarakat. Ideologi tertutup tidak mendasarkan diri pada nilai-nilai dan pandangan moral masyarakat, melainkan sebaliknya baik-buruknya nilai diukur dari sesuai-tidaknya dengan ideologi itu. Ideologi tertutup harus dipacu oleh sebuah elite ideologis. Ciri khas ideologi tertutup bahwa klaimnya Mengutip tulisan Tim Dant, Ibid., 57. Ibid. Magnis-Suseno, Filsafat sebagai Ilmu Kritis, 228. Pandangan Marx banyak dikritik khususnya oleh Jorge Larrain karena samar dan tidak jelas. Menurutnya, Marx mendekati konsep ideologi atas dasar karakter kontradiksionis dari realitas sosial yang dihasilkan oleh kekuatan produksi dan pembagian kerja. Ini membawa kepada karakter ideologi solusi dalam pikiran untuk kontradiksi yang sulit dipecahkan dalam praktik. ideologi adalah suatu proyeksi yang diperlukan dalam kesadaran tentang ketidakmampuan praktis menusia. Lihat Tim Dant, “A Modern Approach”, 60. Fundamentalisme dan Masa Depan Volume 9, Nomor 1, September 2014, ISLAMICA tidak hanya memuat nilai-nilai dan prinsip-prinsip dasar saja, melainkan bersifat konkret operasional. Artinya, ideologi tidak mengakui hak masing-masing orang, dan ideologi tertutup menuntut ketaatan tanpa reserve. Ideologi tertutup bersifat dogmatis, intoleran dan totaliter serta dapat digunakan untuk melegitimasikan kekuasaan sebuat elit ideologis. Teori seperti Marxisme-Leninisme merupakan bentuk ideologi tertutup yang menganggap dirinya sebagai kebenaran yang tidak boleh dipersoalkan lagi, melainkan yang sudah jadi dan harus sosialisme, dan ideologi “keamanan nasional” ala Amerika Latin juga termasuk ideologi tertutup meskipun memiliki perbedaan-perbedaan formal yang cukup mendalam. Kapitalisme, liberalisme dan konservatisme jika membatasi terhadap ruang gerak manusia untuk menuju kekebasan disebut juga dengan ideologi tertutup. Tetapi sejauh ini liberalisme masih dianggap lawan dari ideologi tertutup, dan masih dianggap konsisten memerjuangkan nilai dan kekebasan. Kedua, adalah ideologi terbuka. Cita-cita politik ideologi terbuka adalah menjamin kehidupan masyarakat untuk menentukan kehidupannya sendiri, kebebasan beragama dan berpandangan politik. Cita-cita itu bersifat limitatif dan bekerja melalui falsifikasi artinya menetapkan batas-batas kebebasan, dengan tidak merugikan orang lain. Cita-cita itu tidak dibebankan kepada masyarakat, melainkan diangkat darinya melalui kesepakatan di antara mereka. Motivasi untuk mengikuti cita-cita itu tidak perlu dipacu, apalagi cita-cita itu adalah falsafah negara yang juga disebut dengan “ideologi terbuka”. Ideologi terbuka bersifat inklusif, dan menerima semua pandangan yang berasal dari masyarakat selagi bertujuan untuk membela hak-hak asasi manusia, keadilan dan demokrasi. Ketiga, ideologi implisit. Kedua ideologi di atas memiliki satu ciri bersama merupakan cita-cita dan nilai yang secara eksplisit dan verbal dirumuskan, diperjuangkan, dipercayai dan dilaksanakan. Secara historis ideologi-ideologi eksplisit itu muncul bersamaan dengan zaman modern yang ditandai dengan rasionalisme dan sekularisasi. Pada era tradisional masyarakat memiliki keyakinan-kayakinan tentang hakikat realitas serta bagaimana manusia hidup di dalamnya. Meskipun keyakinan-keyakinan itu hanya implisit saja yang tidak Ibid., 232. Karl Mannheim, Ideology London Routledge dan Kegan Paul, 1989, 132. Magnis-Suseno, Filsafat sebagai Ilmu Kritis, 235. ISLAMICA, Volume 9, Nomor 1, September 2014 dirumuskan dan diajarkan, namun keyakinan itu dapat diresapi sebagai gaya hidup, berpikir bahkan beragama. Kayakinan dan cita-cita itu tidak eksplisit itu sering ada unsur ideologisnya karena mendukung tatanan yang ada, memberi legitimasi terhadap kekuasaan berdasarkan kelas atau lapisan sosial tertentu. Misalnya pandangan masyarakat Jawa tentang mikrokosmos jagad cilik dan makrokosmos jagad gedhe memuat paham tentang rahasia sebagai sumber keselarasan dan kesejahteraan masyarakat, dan dengan demikian melegitimasikan sistem kekuasaan monarki absolut. Oleh karena keyakinan dan nilai-nilai dasar itu melegitimasikan struktur non-demokratis tertentu. Jadi ideologi implisit menyangkut sejauh pandangan-pandangan yang tidak disadari secara eksplisit itu membenarkan struktur-struktur kekuasaan dalam masyarakat yang tidak adil, pandangan itu dinilai ideologis dan dengan demikian dinilai negatif. Bahkan dalam masyarakat modern seperti sekarang ini, ideologi implisit terjewantahkan dalam berbagai bentuk. Mereka tidak mau dihubungkan dengan ideologi yang sudah mapan, sebagai ideologi tertutup dan terbuka, atau dihubungkan dengan keyakinan agama tertentu. Mereka menyebut dirinya sebagai ideologi dan sumber ideologi, dan tidak mau dipaksakan dengan ideologi-ideologi dua karakter utama ideologi. Pertama, ideologi diformulasi dan ditaati dimaksudkan untuk tujuan tertentu. Pandangan dunia industrial misalnya, secara spontan akan memunculkan implikasi masyarakat yang terindustrialisasi. Dalam konteks masyarakat yang dibingkai oleh pandangan industrial kemudian muncul secara gradual masyarakat teknologi sosial. Pada saatnya kemudian, teknologi menjadi sentral di tengah masyarakat. Sementara itu, masyarakat industrial tersebut akan disertai dengan munculnya ideologi kapitalisme. Dari sinilah kemudian ideologi digunakan untuk menjustifikasi bentuk-bentuk sistem ekonomi industrial tertentu. Kedua, ideologi digunakan oleh para proponennya untuk tujuan politik mereka. Dalam memerjuangkan politik, mereka cenderung menggunakan ideologi, dan bukan memakai pandangan dunia atau paradigma sosial. Berbeda dengan semua itu, ketika pandangan dunia atau paradigma diubah menjadi ideologi oleh sekelompok orang— Lihat David Wals, “Kata Pengantar” dalam David Wals, After Ideology Recovering the Spritual Foundations of Freedom Washington DC The University of Catholic Press, 1990, xii. Fundamentalisme dan Masa Depan Volume 9, Nomor 1, September 2014, ISLAMICA elite dominan, pemimpin gerakan sosial, kelas sosial yang kuat dan sejumlah kelompok lainnya—mereka menggunakannya sebagai instrumen pendorong dan penganut kekuasaan, tindakan dan tujuan mereka. Singkat kata, ideologi kemudian menjadi senjata terhadap suatu ideologi telah melahirkan klaim bahwa ideologi yang dianut oleh suatu negara/kelompok lebih unggul dari ideologi yang lain. Keberpihakan dan klaim kebenaran terhadap ideologi pada dasarnya menurut Zizek tidak bisa dilepaskan dari muatan kepentingan yang lebih besar yakni upaya memberikan pengaruh pada ideologi yang sudah ada, apalagi ideologi tersebut sudah dihubungkan dengan kepentingan politik dan klaim bahwa ideologi tertutup lebih populis, sementara ideologi lebih elitis merupakan pandangan yang bersifat apriori dan prematur, demikian sebaliknya ketika muncul pandangan bahwa ideologi tertutup bersifat elitis dan ideologi terbuka sangat populis juga subjektif. Karena pada kenyataannya di negara-negara yang menganut ideologi tertutup tidak selamanya gagal dan sukses, demikian pula bagi negara yang menerapkan ideologi terbuka. Namun secara teoretis, bahwa ideologi yang bercorak sosialis lebih besifat merakyat dan manusiawi, sementara ideologi kapitalis-liberal lebih banyak mementingkan kelompok yang dekat dengan kekuasaan untuk memeroleh akses yang lebih luas terhadap sumber-sumber Peta Awal Ideologi Politik Islam Sebelum lebih mendalam memerbincangkan ideologi politik Islam, terlebih dahulu akan dikemukakan hubugan Islam dan negara. Perbincangan soal ideologi, lebih-lebih dalam Islam tidak bisa dilepaskan dari perbincangan sebuah negara. Hampir semua gerakan Islam modern tidak bisa dilepaskan dari gerakan yang berhaluan ideologis, khususnya melalui pembacaan terhadap teks dan sejarah perjalanan Islam pada masa-masa awal yang menjadi titik simpul Islam dekade belakangan ini selalu muncul pertanyaan klasik yang memersoalkan hubungan Islam dan negara. Apakah Islam Zainuddin Maliki, Narasi Agung Tiga Teori Sosial Hegemonik Surabaya LPPAM, 2004, 21-22. Zizek, Mapping Ideology, 176. Ibid. Ibid. Lihat Achmad Jainuri, Orientasi Ideologi Gerakan Islam Surabaya LPAM, 2004, 3. ISLAMICA, Volume 9, Nomor 1, September 2014 sebuah agama atau negara, atau keduanya agama sekaligus negara. Pertanyaan tersebut bukan pertanyaan latah atau mimpi di siang bolong, tetapi pertanyaan yang harus dijawab meskipun akhir jawaban itu secara akademis juga akan berpihak. Dasar-dasar yang digunakan, baik bersumber pada al-Qur’ân maupun H}adîth atau sejarah Islam tidak secara tegas menjelaskan apakah Islam sebagai agama dan negara, atau agama saja. Demikian pula tidak ada dasar yang menyatakan bahwa agama terpisah dari negara, atau negara terpisah dari agama. Demikian pula ketika merujuk pada tradisi sejarah sebagaimana ulama fiqh Sunnî menjelaskan tentang hubungan agama dan negara dengan mengambil contoh peristiwa-pristiwa politik dalam pemilihan/pengangkatan al-Khulafâ’ al-Rashidûn. Dalam kasus khalîfah sulit dibedakan antara urusan politik dan agama. Apakah berkumpulnya sahabat di Thaqîfah Bani Saîdah atas nama agama atau politik, atau kedua-duanya, memang sulit untuk dijelaskan secara komprehensif. Demikian pula apakah para khalîfah itu memerintah atas nama agama atau kekuasaan semata juga tidak bisa diuraikan dengan menyeluruh, karena sulitnya membedakan antara urusan agama dan keduniaan. Begitu pula ketika Nabi masih ada, baik ketika berada di Mekkah maupun Madinah. Apakah Nabi memerangi kaum kafir yang membangkang itu atas nama agama atau kepala negara, atau keduanya, tidak bisa dijelaskan secara pasti. Tapi satu hal yang perlu dicatat bahwa Islam lahir di sebuah wilayah yang tak bernegara, yang tidak memiliki aturan-aturan administratif sebagaimana layaknya sebuah negara. Islam lahir dengan mengusung peradaban modern dengan berusaha membawa aturan-aturan itu di tengah masyarakat Arab yang sulit ditaklukkan dengan aturan-aturan. Aturan-aturan itu memerlukan kekuasaan yang mewakili komunitas mereka untuk melaksanakannya seperti hukuman bagi pencuri, pezina, dan yang lainnya. Fakta di atas tidak bisa dielakkan lagi ketika Islam berkembang begitu cepat sehingga memerlihatkan batas wilayah Islam dan non-Islam. Dari sinilah maka Thaqîfah Bani Saîdah merupakan balai pertemuan orang Ans}âr dan Muhâjirîn untuk membahas kepemimpinan umat Islam setelah Nabi meninggal. Kasus seperti ini juga terjadi pada agama manapun dan dalam kondisi apapun. Sementara dalam konteks Islam semakin tidak jelas karena dasar-dasar yang ada dalam al-Qur’ân maupun H}adîth tidak memberikan penjelasan yang memadai. Dalam Islam cuma mengenal istilah dâr al-h}arb atau dâr al-Islâm. Fundamentalisme dan Masa Depan Volume 9, Nomor 1, September 2014, ISLAMICA kemudian payung politik diperlukan, Islam adalah hukum dan setiap hukum atau aturan harus ada orang yang memerintah. Nabi tidak memberikan aturan yang jelas tentang kepemimpinan sesudahnya. Demikian pula tentang kepemimpinan seperti apa yang layak dilaksanakan, dan kriterianya juga Nabi tidak memberi khilafah dan penyebutan khalîfah merupakan hasil ijtihad para sahabat Sabda Nabi antum alam bi umûr dunyâkum yang menganggap bahwa kepemimpinan sesudah Nabi tidak boleh kosong dan karenanya perlu seorang pemimpim yang bernama “khalîfah”. Pertemuan di Thaqîfah tersebut untuk memilih khalîfah adalah pertemuan yang tidak direncanakan dengan matang, tergesa-gesa dan tidak memiliki dasar teologis yang kuat. Apalagi tidak semua unsur sahabat penting hadir dalam musyawarah tersebut. Namun peristiwa di Thaqîfah selalu dijadikan dasar dalam tradisi fiqh Sunnî khususnya dalam menganalogkan tradisi kepemimpinan yakni pertama, khalîfah tidak membicarakan negara sebagai institusi melainkan difokuskan kepada orang yang akan dibay’at untuk memerintah berdasarkan Kitab Allah dan Sunnah Rasul dalam jangka waktu yang tidak terbatas. Kedua, khalîfah hanya ada satu orang dalam wilayah Islam, sementara di bawahnya terdiri dari gunernur. Ketiga, khalîfah berdasarkan pilihan bukan “teks” dalam tradisi Shîah.Peristiwa politik di Thaqîfah dan kemudian melahirkan generasi khalîfah utama dari Abû Bakar hingga Alî b. Abî T}âlib menjadi dasar hukum politik dalam tradisi Sunnî yang kadang tanpa melihat makna-makna penting di balik semua peristiwa tersebut. Apakah sistem khalîfah merupakan sebuah sistem politik Islam atau hanya sebuah ambiguitas politik. Apabila dikritisi secara mendalam baik tradisi sistem khalîfah pada masa-masa awal atau pemikiran politik Sunnî era belakangan, ambiguitas tersebut semakin menonjol melihat banyaknya kekurangan dalam sistem khalîfah. Ada beberapa poin penting yang perlu dicermati dalam tradisi khalîfah. Pertama, tidak ada batasan bagi jabatan khalîfah. Keempat al-Khalîfah al-Râshidah tidak memiliki batasan jabatan sehingga sulit diukur untuk dikatakan sebagai sesuatu yang ideal. Kedua, tidak ada pola atau tata cara bagaimana memberhentikan khalîfah yang korup, tidak menjalankan undang- Munculnya H}adîth al-aimmah min Quraysh lebih didasarkan pada pertimbangan bahwa masyarakat Arab tidak bisa tunduk selain pada suku Quraysh. Muhammad Abid al-Jabiri, Agama, Negara, dan Penerapan Syari’ah, terj. Mujiburrahman Yogyakarta Pustaka Fajar Baru, 2001, 66-67. ISLAMICA, Volume 9, Nomor 1, September 2014 undang atau sudah tidak mampu lagi menjalankan tugas keseharian. Kasus al-Khulafâ’ al-Râshidûn, tiga dari empat khalîfah adalah meninggal sebelum kekuasaannya habis. Ketiga, tidak ada metode yang tepat bagaimana memilih khalîfah. Peristiwa di Thaqîfah adalah peristiwa politik emergency, tergesa-gesa dan di luar rencana. Pergantian dari Abû Bakr ke Umar b. al-Khat}t}âb adalah cara tidak ideal karena dapat menimbulkan fitnah, demikian pula pengangkatan Alî b. Abî T}âlib sebagai khalîfah tidak mencerminkan idealitas syarat-syarat pemimpin modern. Hanya cara yang dilakukan oleh Umar bisa dikatakan sebagai cara yang terbaik dibandingkan dengan ketiga cara sebelum dan sesudahnya. Keempat, tidak ada batasan wewenang seorang khalîfah. Mulai dari Abû Bakr hingga Alî pola kepemimpinannya mirip dengan “panglima perang” yang bisa memerintah kapan dan dalam situasi apa saja. Masalah pembatasan wewenang tidak sampai dipikirkan waktu itu karena umat Islam disibukkan dengan penaklukan dan ekspansi wilayah. Realitas politik di atas melahirkan berbagai pandangan yang berbeda di kalangan umat Islam. Pandangan pertama menyatakan bahwa agama dan negara merupakan satu kesatuan yang tidak bisa dipisahkan. Pandangan kedua adalah agama dan negara berhubungan secara simbiotik, agama dan negara saling mengisi satu sama lain. Pandangan ketiga, bahwa agama terpisah dari negara sekuler. Perbincangan soal hubungan negara dan agama dalam Islam, khususnya pada masa-masa awal menjadi landasan dan pijakan pemikir Muslim untuk menentukan gerakan dan ideologi politik Islam. Perdebatan hubungan Islam dan politik khususnya keterkaiatannya dengan ideologi politik semakin menguat ketika ideologi-ideologi besar seperti Sosialis-Marxisme, Liberalisme, Kapitalisme masuk ke dalam ruang Muslim yang bersamaan dengan kesadaran umat Islam untuk menata kehidupan setelah sekian tahun lamanya tenggelam dalam keterpurukan sejarah. Ideologi-ideologi besar tersebut pada satu sisi menggeser keyakinan dan cita-cita yang ada dalam Islam, sebagian berusaha untuk mengawinkan antara Islam dan ideologi Barat, sementara ada sebagian yang lain berusaha untuk mengusung “Islam” sebagai ideologi murni. Yang dimaksud dengan ideologi di sini adalah interpretasi keagamaan dari berbagai ide yang saling berkaitan yang ada dalam aliran-aliran Islam, yang Fundamentalisme dan Masa Depan Volume 9, Nomor 1, September 2014, ISLAMICA merefleksikan moral, kepentingan, serta komitmen ini memandang bahwa semua unsur ideologi umumnya diterima sebagai formulasi filosofis yang bersifat tentatif, yang perumusannya disesuaikan dengan perubahan sosial-budaya. Tentang ideologi politik Islam ini pada satu sisi tidak bisa dipisahkan dari kenyataan fakta-fakta politik pada masa Nabi yang kemudian dilanjutkan oleh al-Khulafâ’ al-Râshidûn, juga adanya tuntutan terhadap dinamika yang berkembang di luar Islam. Dalam konteks ini, banyak muncul pemikiran baru ideologi politik Islam untuk mengggabungkan antara Islam dan ideologi Barat modern. Seorang pemikir politik modern Pakistan Abû al-Ala al-Mawdûdî menyatakan bahwa sangat sulit menerapkan konsep ideologi politik sebagaimana pada masa Nabi dan al-Khulafâ’ al-Râshidûn di tengah umat Islam saat ini, apalagi jika ada tuntutan untuk menerapkan demokrasi sebagai semangat utama umat Islam. Karena Islam dan demokrasi pada satu sisi memiliki persamaan tapi pada sisi lain memiliki garis demarkasi yang jelas yang membedakan soal kedaulatan Tuhan dan kedaulatan agama. Ideologi politik modern selalu mengedepankan prinsip kedaulatan manusia sebagai pijakan utama dalam proses pengambilan keputusan politik, sementara dalam Islam semua keputusan harus dikembalikan kepada ajaran utama Islam, yakni al-Qur’ân dan H}adîth. Dalam pengertian ini, keputusan manusia tidak berarti lagi apabila bertentangan dengan ajaran Islam. Untuk mencairkan kebuntuan ini al-Mawdûdî menawarkan apa yang disebut dengan teo-demokrasi, yakni demokrasi yang dilandasi dengan semangat ketuhanan, demokrasi yang bersumber dari ajaran-ajaran menyadari bahwa terdapat beberapa titik dalam ideologi politik Islam yang tidak selamanya beriringan dengan tuntutan demokrasi ala Barat sekarang. Sementara dia juga menyadari bahwa tidak mungkin kembali pada tradisi Nabi dan al-Khulafâ’ al-Râshidûn dalam mengembangkan ideologi politik. Pandangan ini sejalan dengan pemikiran politik Ibn Taymîyah, bahwa agama tidak bisa hidup tanpa negara dan dalam menjalankan sebuah negara tidak Terrence Ball dan Richard Dagger, Political Ideologies and the Demodratic Ideal New York Harper Collins College Publishers, 1995, 9. Lihat Abu A’la al-Maududi, Khilafah dan Kerajaan, terj. Muhammad Baqir Bandung Mizan, 1994, 440. al-Maududi tidak spesifik menyebut istilah tersebut, namun pemeikiran-pemikiran politiknya selalu mengarah pada pandangan tersebut. Ibid. ISLAMICA, Volume 9, Nomor 1, September 2014 mungkin kembali lagi ke dalam tradisi awal umat ideologi politik Islam akan selalu mengalami perkembangan sesuai dengan perkembangan umat Islam tersendiri. Secara teoretis, ideologi politik Islam lebih dekat dengan ideologi sosialis, karena semangat yang dibangun oleh Islam adalah dalam rangka membela kaum mustad}afîn orang-orang lemah. Menurut Ibn Taymîyah, apapun paham yang dianut oleh suatu negara harus mampu memelihara agama dan memerhatikan kesejahteraan dari Fundamentalisme Ideologi politik Islam tidak dapat dilepaskan dengan gerakan fundamentalisme. Fundamentalisme memberikan ruang yang ikut andil dalam memerkuat ideologi politik Islam. Fundamentalisme lahir, tumbuh dan berkembang setelah Rasulullah meninggal, tepatnya 200 tahun sesudahnya. Fundamentalisme selalu diidentikkan dan dihubungkan dengan agama. Baik di Barat maupun Islam, gerakan fundamentalisme sangat melekat dengan isu-isu agama seperti purifikasi, kebangkitan, reinterpretasi. Namun menurut Graudy, fundamentalisme merupakan fenomena yang tidak terbatas pada agama terdapat fundamentalisme pada wilayah politik, sosial dan budaya. Karena baginya, fundamentalisme merupakan pandangan yang ditegakkan atas keyakinan, baik bersifat agama, politik atau budaya yang dianut pendiri yang menanamkan ajaran-ajarannya di masa lalu dalam mengelompokkan fundamentalisme sebagai fenomena budaya dan sosial yang berdiri sendiri memang tidak mudah, karena isu-isu agama sangat melekat dan selalu memiliki hubungan dengannya. Karena hampir semua fenomena bisa berhubungan dengan masalah sosial. Tugas sosiologi adalah mengelompokkan, mengkatagorisasi dan menempatkan secara sosial semua fenomena termasuk di dalamnya fundamentalisme pada agama. Berbagai kasus di dunia Islam khususnya Mesir dan Saudi Arabia gerakan fundamentalisme berawal dari kelompok agama yang tidak Qomarudin Khan, Pemikiran Politik Ibnu Taimiyyah, terj. Anas Mahyudin Bandung Pustaka, 1983, 309. Ibid. R. Graudy dalam Islam Fundamentalis dan Fundamentalis Lainnya, sebagaimana dikutip oleh Azyumardi Azra, Pergolakan Politik Islam dari Fundamentalisme, Modernisme hingga Post-Modernisme Jakarta Paramadina, 1996, 108. Fundamentalisme dan Masa Depan Volume 9, Nomor 1, September 2014, ISLAMICA mampu beradaptasi dengan perubahan sosial dan kemudian melakukan respons dengan menggunakan tafsir agama. Kelompok ini kemudian muncul sebagai gerakan sosial yang terorganisir yang di dalamnya selalu menggunakan dasar dan argumen teologis untuk melawan tirani atau ketidakadilan sosial. Azyumardi Azra mengelompokkan gerakan ini menjadi dua tipologi, yakni pra-modern dan kontemporer neo-fundamentalisme, dalam istilah lain juga disebut dengan fundamentalisme tradisional dan muncul disebabkan oleh situasi dan kondisi tertentu di kalangan Muslimin, karena itu lebih genuine dan inward oriented. Fundamentalisme kontemporer muncul sebagai reaksi terhadap penetrasi sistem dan nilai sosial, budaya, politik dan ekonomi Barat, baik melalui kontak langsung maupun melalui pemikir itu pembahasan fundamentalisme sebagai fenomena sosial di kalangan Muslim tidak bisa dilepaskan dari pembahasan mengenai masalah isu-isu agama yang melatari kemunculannya, yang berasal dari respons terhadap perubahan sosial yang begitu cepat. Gerakan fundamentalisme menurut analisis Reisenbrodt bersumber dari perubahan sosial dengan segala akibat yang ditimbulkannya, kemudian melahirkan respons yang beragam di kalangan masyarakat. Dari respons ini, ada upaya untuk mengounter dengan argumen-argumen teologis dalam rangka counter terhadap perubahan tersebut. Counter tersebut dalam ilmu-ilmu sosial dianggap sebagai tesis kemudian melahirkan antitesis dan beranjak pada tesis lagi. Untuk melihat kasus fundamentalisme sebagai fenomena sosial yang berkembang di dunia, akan digunakan sudut pandang Martin E. Marty, seperti yang dikutip Azyumardi Azra, untuk memetakan prinsip dan elemen gaya fundamentalisme. Menurutnya, ada empat prinsip dan gaya fundamentalisme Pertama, prinsip fundamentalisme adalah oppositionalism paham perlawanan. Semua bentuk modernitas, sekularitas dan tata nilai Barat yang dapat mengancam eksistensi agama akan dilawan. Kedua, penolakan terhadap hermeneutika. Kaum fundamentalis menolak sikap kritis terhadap teks dan interpretasinya. Teks al-Qur’ân harus dipahami secara lateral-apa adanya. Ketiga, penolakan terhadap pluralisme dan relativisme. Bagi fundamentalisme, pluralisme Lihat Jainuri, Orientasi Ideologis, 73-74. Azra, Pergolakan Politik Islam, 111. ISLAMICA, Volume 9, Nomor 1, September 2014 merupakan hasil dari pemahaman yang keliru terhadap teks kitab suci. Pemahaman dan sikap kegamaan yang tidak selaras dengan pandangan kaum fundamentalis merupakan bentuk dari relativisme kegamaan. Keempat, adalah penolakan terhadap perkembangan historis dan sosiologis. Kaum fundamentalis berpandangan bahwa, perkembangan historis dan sosiologis telah membawa manusia semakin jauh dari doktrin literal kitab suci. Perkembangan masyarakat dalam sejarah dilihat sebagai as it should be bukan as it is. Dalam kerangka inilah masyarakat harus menyesuaikan perkembangannya, bukan sebaliknya, teks atau penafsiran yang mengikuti di dunia Islam, fundamentalisme tidak dapat dilepaskan dari sejarah Saudi Arabia dan Mesir, dua negara yang ingin ikut membangun ideology tersebut. Tokoh dan para ulama di dua negara tersebut berusaha untuk mengobarkan semangat kembali kepada ajaran al-Qur’ân dan H}adîth, atau yang dikenal dengan sebutan gerakan pemurnian’. Ada hubungan yang sangat erat antara ajaran Saudi modern dengan semangat yang dikembangkan oleh Ah}mad b. H}anbal 780-855 dan Ibn Taymîyah 1263-1328 yang sama-sama memelopori ajaran kembali pada al-Qur’ân dan H}adîth dengan meninggalkan ajaran yang berbau bidah dan khurafât. Sebelum munculnya kelompok fundamentalis modern akhir 1980-an dan awal 1990-an, kelompok-kelompok radikal sudah lama berkembang dengan menjadikan institusi negara sebagai basis perjuangannya. Secara umum ada tiga faktor yang melatari munculnya fundamentalisme di Saudi Arabia Pertama, bentuk kritik terhadap rezim yang berkuasa yang selalu mengatasnamakan agama sementara dalam praktiknya sudah keluar dari agama. Hak otoritatif terhadap satu kelompok agama, “Wahhabi” memicu absolutisme di kalangan masyarakat. Di samping itu juga kritik dilancarkan pada ruling family yang kemudian membius masyarakat bahwa tanpa Ibn Saud family Saudi tidak bisa berjaya. “Kita harus mengikuti Islam yang benar sebagaimana Islam yang dibawa oleh Nabi dan para sahabat, bukan mengikuti apa yang dikatakan oleh ulama yang korup” demikian oposisi mengatakan. “Wahabi untuk saat ini tidak punya otoritatif mengatasnamakan agama”. Para aktivis Ibid., 109-110. Ibid., 6. Fundamentalisme dan Masa Depan Volume 9, Nomor 1, September 2014, ISLAMICA meminta agar dipisahkan antara urusan politik, publik, pribadi dan bisnis. Sebab di sinilah letak terjadinya korupsi di lingkungan kerajaan. Aktivis meminta agar didefinisikan ulang aturan bernegara, permainan urusan pribadi dan publik, kejelasan aturan hukum dan sistem kekerabatan yang tidak jelas. Kedua, sikap kritis karena pembatasan yang berlebihan terhadap semua gerakan sosial yang ada di Arab Saudi. Dengan kekuatan minyak yang melimpah, kerajaan membiayai besar-besaran operasi intelijen untuk membungkan kelompok-kelompok yang melakukan perlawanan terhadap pemerintah. Jaringan keluarga kerajaan juga ikut membantu memersempit gerakan kelompok radikal, meskipun akhirnya juga bisa lolos. Salah satu ungkapan yang selalu dikatakan oleh aktivis Saudi untuk melawan penguasa yang membela kepentingan Amerika “Masyarakat Arab paling tahu tentang gurun. Mereka bisa survive sebab secara reguler keluarga menghabiskan tiga bulan di kamp gurun. Orang Amerika butuh air mineral untuk bisa hidup, orang Saudi Arabia cukup minum lumpur untuk bisa hidup”. Ketiga, sikap kritis dilancarkan kepada dominant narrative kerajaan. Sikap kritis pada konstruk sejarah Saudi Arabia yang penuh tipu muslihat dengan menggunakan dasar agama untuk memobilisasi dan menghipnotis masyarakat dengan segala dalih dan tipu daya. Sikap kritis ditujukan pada Abdul Aziz dan keluarga kerajaan yang selalu menganggap dirinya sebagai pemersatu antar suku, menikahi sekian istri demi menjaga kesatuan masyarakat Arab, penjaga agama, dan segala bentuk agitasi untuk melemahkan posisi tawar itu akar fundamentalisme di Mesir berawal dari pendudukan Napoleon Banoparte yang membawa angin modernisasi. Tak lama setelah pendudukan Napoleon, Muhammad Ali Pasya 1769-1849 menindaklanjuti modernisasi tersebut dengan berbagai cara di antaranya mengirimkan beberapa sarjana ke Eropa untuk belajar strategi perang, memerkenalkan model irigasi modern, membuka percetakan dan modernisasi pemerintahan. Muhammad Ali memerkenalkan apa yang disebut dengan “westernisasi”.Cara yang digunakan oleh Muhammad Ali mendapatkan sambutan hangat di kalangan masyarakat Mesir, namun tidak sedikit yang mencurigai akan dampak negatif modernisasi tersebut. Di antara yang bersikap hati- Ibid., 6-8. David Sagiv, Islam Otentisitas Liberalisme, terj. Yudian W. Asmin Yogyakarta LKiS, 1997, 10. ISLAMICA, Volume 9, Nomor 1, September 2014 hati dan terkadang reaktif adalah Jamâl al-Dîn al-Afghânî 1839-1897 dan Muh}ammad Abduh 1845-1905. Di berbagai kesempatan khususnya ketika mengajar dan tulisan-tulisannya dalam al-Urwah al-Wuthqâ tali yang kokoh, al-Afghânî menekankan bahaya yang akan ditimbulkan oleh Barat dan pengaruhnya di dunia Islam, dengan menekankan perlunya persatuan di kalangan umat Islam dalam rangka menangkal bahaya al-Afghânî maupun Abduh menyerukan kepada umat Islam agar kembali kepada ajaran agama yang benar dengan mendengungkan purifikasi dan meninggalkan bidah. Keduanya tidak menolak modernisasi, tapi bagaimana menyikapi dengan bijak isu-isu modern dalam kerangka keIslaman. Sementara murid Abduh, Muh}ammad Rashîd Rid}â 1865-1935 yang menjadi penggerak kebangkitan Islam sesudahnya mementingkan perlunya penegakan kembali institusi khilâfah sebagai alternatif terhadap nasionalisme yang ia tantang. Premis yang digunakan adalah pemerintahan Islam adalah pemerintahan yang berasal dari wahyu, dan tidak ada kehidupan normal dan bahagia kecuali dengan pemerintahan semacam itu. Pemikiran Rid}â sebagai bentuk kritik terhap model pemerintahan yang dikembangkan oleh pemerintah Mesir waktu itu. Pada era ini, ada empat aliran politik yang menggelinding di Mesir. Pertama, aliran Barat yang menggemakan peniruan terhadap Barat dalam semua aspek kehidupan. Kedua, aliran religius anti-Barat yang berusaha merestorasi kejayaan Islam dengan cara kembali pada sumber-sumber agama. Ketiga, aliran nasionalis lokal yang tidak memberikan prioritas nasionalisme universal dan Pan-Islamisme. Keempat, nasionalisme Pan-Arab yang muncul pada akhir 1800-an dan menjadi intens pada abad 20 di mana banyak komunitas Kristen terlibat di fundamentalisme merupakan respons atas modernitas yang berkembang di Mesir waktu itu. Secara umum Islam modernis dapat dikatagorikan dengan tiga hal. Pertama, kecenderungan untuk membatasi muatan tradisi otoritatif sebagaimana yang dikembangkan oleh pemahaman terhadap sumber-sumber utama ajaran Islam al-Qur’ân-H}adîth. Hal ini bukan berarti menolak tradisi, tetapi Ibid., 13. Lihat pula Daniel Crecelius, “Nonideological Responses of The Egyptian Ulama to Modernization”, dalam Nikki R. Keddie, Scholars Saints and Sufis California University of California Press, 1978, 166-209. Sagiv, Islam Otentisitas, 24-5. Fundamentalisme dan Masa Depan Volume 9, Nomor 1, September 2014, ISLAMICA berkecenderungan untuk melakukan seleksi yang ketat. Kedua, mereinterpretasi terhadap sumber-sumber otoritatif, khususnya terhadap beberapa sumber yang membawa implikasi luas munculnya pertentangan di kalangan Muslim seperti poligami, hukuman h}add, jihad, perlakuan terhadap orang murtad/kafir, pandangan terhadap isu-isu modern, kesaksian wanita, hak-hak suami istri. Beberapa reinterpreasi yang dikembangkan adalah memerbolehkan poligami dengan pertimbangan yang sangat ketat, memahami jihad sebagai defensive war, dan mengkaji ulang pandangan Muslim terhadap non-Muslim. Ketiga, sikap apologetik yang menghubungkan aspek-aspek tradisi Islam dengan tradisi Barat, dan mengklaim bahwa Barat pada dasarnya mengambil tradisi Islam. Menurut Shepard, hal tersebut dianggap sebagai identifikasi sederhana sebagai penulis tentang Nasser yang menyatakan bahwa demokrasi di Yugoslavia meniru demokrasi langsung di Mesir. “Konsep demokrasi belakangan ini tidak asli lagi. Demokrasi yang original dapat ditemukan dalam demokrasi Islam awal”. Praktik yang dikembangkan di Barat menurut para apologis adalah bersumber dari tradisi Islam sebagaimana konsep shûrâ. “Dalam terminologi politik modern shûrâ adalah demokrasi. Islam tidak menjelaskan bentuk, tipe dan tingkatan dalam demokrasi tetapi membiarkannya berada dalam pikiran Muslim dengan memertimbangkan aspek waktu dan tempat”.Gema kebangkitan dan fundamentalisme mencapai puncaknya pada abad 20 ketika kekhalîfahan Islam Turki Ustmani bubar. Pada tahun 1928 gerakan al-Ikhwân al-Muslimûn IM muncul yang dipelopori oleh H}asan al-Bannâ. Al-Bannâ adalah aktivis pada kelompok kajian al-Mannâr yang dipimpin oleh M. Rashîd Rid}â dan secara konsisten mengikuti ajaran-ajaran konservatif Rid}â. Pada awalnya IM berkonsentrasi pada gerakan salafi dan sama sekali tidak masuk ke area politik, tapi belakangan ketika pengikutnya semakin banyak dan mendapat tempat di hati masyarakat Mesir, IM kemudian menjadi kelompok radikal yang dalam gerakannya selalu bersentuhan dengan wilayah pula ketika ide-ide Sayyid Qut}b 1906-1966 mulai masuk ke model gerakan IM. Meskipun awalnya bukan anggota, tapi Ibid., 415. Ibid. Leonard Binder, Islamic Liberalism Chicago Chicago University Press, 1988, 271. ISLAMICA, Volume 9, Nomor 1, September 2014 setelah kematian al-Bannâ justru Qut}b yang menjadi ikon gerakannya. Di samping para pendahulunya yang memengaruhi alam pikir Qut}b, ia juga dipengaruhi oleh al-Mawdûdî. Namun ada bukti lain bahwa Qut}b di sepanjang kehidupan intelektualnya sangat dipengaruhi oleh konsepsi keyakinan yang emosional, dan bahwa dia memberi sumbangsih besar bagi terbentuknya orientasi fundamentalis baru yang berpotensi melepaskan energi sosial yang dahsyat dalam bentuk gerakan massa yang tidak tunduk pada kendali negara dan tidak pula mengabdi pada elit dan alim ulama tradisional. Salah satu doktrin Qut}b adalah konsep “Jâhilîyah modern”, yakni modernitas sebagai “barbaritas baru”. Meskipun istilah Jâhilîyah modern diadopsi dari al-Mawdûdî, tetapi konsep yang dikembangkan oleh Qut}b lebih berpengaruh. Menurut Qut}b Jâhilîyah modern adalah situasi di mana nilai-nilai fundamental yang diturunkan Tuhan kepada manusia diganti dengan nilai-nilai palsu artificial yang berdasar hawa nafsu duniawi. Jâhilîyah modern merajalela di muka bumi ketika Islam kehilangan kepemimpinan atas dunia, sementara pada pihak lain Eropa mencapai kejayaannya. Untuk menumpas Jâhilîyah modern menurutnya, masyarakat Muslim harus melakukan taghyîr al-aqlîyah, yakni perubahan fundamental dan radikal, bermula dari dasar kepercayaan, moral dan etikanya. Dominasi atas manusia semata-mata dikembalikan kepada Allah, tegasnya Islam sebagai sistem holistik. Jihad harus dihadapkan dengan modernitas. Tujuan akhir jihad adalah membangun kembali “kekuasaan Tuhan” di muka bumi, di mana sharîah memegang supremasi sharîah bukan dalam pengertian sempit sebagai sistem hukum tetapi dalam pengertian lebih luas, yakni cara hidup menyeluruh sebagaimana digariskan memahami bahwa cara yang tepat untuk mengembalikan kekuasaan Allah di muka bumi dengan cara melakukan jihad secara total, fisik maupun non-fisik. Gerakan fundamentalisme di Arab Saudi dan Mesir tidak berdiri sendiri, melainkan memiliki mata rantai yang kokoh dengan tokoh-tokoh sebelumnya. Secara ideologi kegamaan, gerakan Saudi dan Mesir mengacu pada gerakan Ah}mad b. H}anbal yang hidup pada abad 8-9 M, kemudian gerakan ini secara sistematis diikuti oleh Ibn Taymîyah dengan semangat kembali kepada ajaran al-Qur’ân dan al-Sunnah secara autentik. Setelah itu muncul Muh}ammad b. Abd al- Ibid., 270. Azra, Pergolakan Politik, 120-1. Fundamentalisme dan Masa Depan Volume 9, Nomor 1, September 2014, ISLAMICA Wahhâb, pendiri gerakan Wahabi. Para era ini gerakan fundamentalisme lebih terbentuk dan memiliki akses yang sangat luas, sehingga fundamentalisme berkembang secara pesat di Saudi Arabia. Sementara gerakan fundamentalisme di Mesir khususnya yang dilakukan oleh al-Ikhwân al-Muslimûn merupakan respons terhadap modernisasi dengan menggunakan argumen teologis untuk mengounternya. Sama seperti Saudi Arabia, gerakan di Mesir juga menjadikan Ibn H}anbal dan Ibn Taymîyah sebagai ikon dan spirit gerakan, khususnya dalam pembaruan melalui pemurnian ajaran Islam. Sementara sikap terhadap gerakan Wahhabi justru sebaliknnya, ada usaha untuk melakukan perlawanan karena alasan perbedaan sudut pandang. Secara lebih spesifik, mengutip pendapat Abdul Chalik, berikut ini adalah mata rantai tersebut. Mata rantai gerakan fundamentalisme di Saudi Arabia dan Mesir Ah}mad b. H}anbal 780-855 Ibn Taymîyah Kasus di Saudi Arabia 1263-1328 Muh}ammad b. Abd. Wahhab 1703-1878 Modernisasi M. Ali Pasya 1769-1849 Respons terhadap modernisasi Westernisasi Jamâl al-Dîn al-Afghânî 1939-1897 Muhammad Abduh1845-1905 Embrio fundamentalisme/ gerakan sosial keagamaan M. Rasyid Rida 1865-1935 Hasan al-Banna 1906-1949 Fundamentalisme/gerakan Sosial politik Sayyid Qut}b 1906-1966 Lihat Abdul Chalik, Islam dan Kekuasaan Yogyakarta Interpena, 2012, 45. ISLAMICA, Volume 9, Nomor 1, September 2014 Perbedaan mencolok antara periode al-Afghânî dengan al-Bannâ terletak pada model gerakan yang dikembangkan. IM sebagai organisasi sosial kemudian merambah ke dunia politik, dan akhirnya menjadi gerakan bawah tanah yang memiliki pengaruh luas seantero Mesir. Bahkan IM juga mengembangkan sayap pengaruh di kawasan Arab seperti Yordania, Suriah, Arab Saudi, dan Palestina. “Palestine Revolt 1936” dijadikan sebagai momentum perluasan pengaruh IM yang kemudian menjadi prototype gerakan-gerakan fundamentalis di banyak negara berpenduduk Muslim. Sesudah kematian Qut}b tahun 1966, gerakan fundamentalis IM bukan berhenti, bahkan lebih radikal dan revolusioner, dan masih berlangsung hingga sekarang meskipun dengan nama dan model yang berbeda. Masa Depan Politik Islam Indonesia Perbincangan Islam sebagai ideologi politik mulai santer terdengar sejak munculnya Piagam Jakarta. Piagam tersebut merupakan teks rancangan undang-undang yang secara tegas menempatkan agama Islam sebagai dasar negara. Salah satu bunyi teks tersebut adalah, “……Ketuhanan, dengan kewajiban menjalankan sharîah Islam bagi pemeluknya”, Teks tersebut secara tegas menyatakan Islam sebagai filosofi, dasar, landasan bagi pemeluknya yang menjadi penduduk mayoritas di negeri ini. Namun, penggunaan tujuh kata tersebut terus mengalami perdebatan hingga akhirnya sidang konstituante pada taggal 2 Juni 1959 yang dipimpin Soekarno, dengan suara mayoritas, 263 setuju untuk kembali ke teks UUD yang lama dengan menghilangkan tujuh kata tersebut. Perdebatan antara yang mengusulkan, menolak dan menerima tujuh kata dalam rancangan teks UU tersebut merupakan gambaran peta ideologis umat Islam pada masa-masa awal. Dari kalangan Islam di tim sembilan perumus UU, terpetakan ke beberapa kelompok Islam, yakni modernis, tradisional, fundamentalis dan nasionalis. Perdebatan antara menolak dan menerima memerlihatkan bagaimana Sebelum Indonesia secara resmi memerdekakan diri tahun 1945, Badan Penyilidik yang terdiri dari berbagai kalangan yang beranggotakan 9 orang, yaitu Hatta, Subardjo, Soekarno, Maramis, Kahar Muzakir, Wachid Hasyim, Abikusno dan Agus Salim menyuiapkan kerangka dasar Undang-Undang yang kemudian dikenal dengan sebutan Piagam Jakarta Jakarta Charter. Lihat Ali Haidar, NU dan Islam Indonesia Jakarta Gramedia, 1994, 244. Ibid. Fundamentalisme dan Masa Depan Volume 9, Nomor 1, September 2014, ISLAMICA ideologi organisasi memberikan pengaruh dalam perumusan sebuah ideologi negara. Jauh sebelum rumusan rancangan UU tersebut mengerucut pada usaha formulasi hukum Islam sebagai ideologi negara, perdebatan ideologi politik Islam sudah mengemuka. Dua organisasi besar Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah yang lahir sebelum munculnya wacana sharîah Islam dalam rancangan undang-undang sudah terlebih dahulu terlibat dalam perbincangan serius soal ideologi negara. NU dan Muhammadiyah memiliki sejarah kelahiran yang berbeda yang kemudian diusung menjadi ideologi gerakan mereka. NU yang pada awalnya bermazhab pada Hijazdan Muhammadiyah kepada Kairodari sisi latar belakang keagamaan memiliki corak dan perspektif yang berbeda. NU dikenal dengan ideologi tradisional sementara Muhammadiyah dikenal dengan corak modernis. Perbedaan pandangan tentang ideologi negara juga tergambar ketika NU menjadi partai politik pada tahun 1955, sementara Muhammadiyah melebur ke Masyumi meskipun tidak sedikit dari Ormas selain Muahmmadiyah masuk ke Masyumi. Debat soal ideologi politik Islam baik di parlemen maupun di luar parlemen didominasi oleh dua kubu tersebut NU dan Muhammadiyah, baik pada Pemilu 1971, era fusi partai tahun Pada tahun 1922 sampai 1926, para aktivis dari berbagai organisasi dan perhimpunan mengadakan serangkaian kongres bersama yang disebut “Kongres al-Islam” untuk membicarakan masalah penting yang menjadi keprihatinan bersama. Kongres di antaranya diadakan di Mekkah Hijaz dan Kairo. Para ulama pesantren di Jawa Timur cenderung untuk menghadiri kongres di Hijaz karena ada persamaan pandangan soal materi-materi yang dibahas, dan pada saat itulah kemudian membentuk “Komite Hijaz” yang merupakan cikal bakal kelahiran NU. Lihat Martin van Bruinessen, NU, Tradisi, Relasi Kuasa, dan Pencarian Makna Baru, terj. Farid Wajidi Yogyakarta LKiS, 1994, 33-35. Sementara Muhammadiyah dan Sarekat Islam cenderung memilih kongres di Kairo, karena di antara paham pembaharuan Muhammadiyah sangat dekat dengan paham Muh}ammad Rashîd Rid}â. Ibid., 33. Selain NU dan Muhammadiyah, sebenarnya masih banyak Ormas yang mengusung ideologi berbeda, sebagaimana Sarekat Islam SI, Persis, LDII, dan beberapa Ormas kecil. Namun suara mereka tidak terlalu signifikan dan dari sisi gerakan lebih bersifat lokal dan insidentil. SI misalnya, setelah Tjokroaminoto meninggal, hanya sedikit para tokoh yang ikut mengembangkan Ormas tersebut dan bahkan hanya terpusat di Solo dan sebagian kecil di kota lain. Lihat Lathiful Khuluq, “Sarekat Islam Its Rise, Peak, and Fall”, al-Jamiah, No. 60 1997, 247-267. ISLAMICA, Volume 9, Nomor 1, September 2014 1973,era Khittah NU tahun 1984. Namun demikian, kedua Ormas tersebut tidak mampu menembus kekuasaan Orde Baru yang selalu menggunakan tangan besi untuk melawan aktivis Islam yang berusaha untuk mengusung ideologi Islam dalam negara kesatuan Republik Indonesia. Debat soal ideologi politik Islam hanya sebatas wacana dan menjadi isu-isu partisan untuk memengaruhi publik, karena tidak mampu menembus level negara. Apalagi usaha pembungkaman melalui pemaksaan untuk menerima Pancasila sebagai satu-satunya ideologi negara oleh pemerintah dijalankan sangat efektif dengan memotong kekuatan politik di lembaga resmi seperti legislatif. Sejak tahun 1990-an, berbagai unsur Islam memeroleh peluang yang semakin luas dalam ruang-ruang negara. Pergeseran posisi Islam yang semakin ke tengah dalam panggung politik ini sering disebut “politik akomodasi Islam”. Setidaknya ada empat pola akomodasi yang menonjol pertama, “akomodasi struktural”, yakni dengan direkrutnya para pemikir dan aktivis Muslim untuk menduduki posisi penting dalam birokrasi negara. Kedua, “akomodasi infrastruktur”, yakni penyediaan dan bantuan infrastruktur bagi kepentingan umat dalam menjalankan kewajiban agama mereka. Ketiga, “akomodasi kultural”, berupa diterimanya ekspresi kultural Islam ke dalam wilayah publik seperti pemakaian jilbab, baju koko hingga ucapan al-salâm alaykum. Keempat, “akomodasi legislatif” yakni upaya untuk memasukkan aspek hukum Islam menjadi hukum negara, meskipun bagi umat Islam saja. Setelah era reformasi yang sukses menumbangkan rezim Soeharto pada tahun 1998 dengan dibukanya kran demokrasi dan kekebasan berpolitik praktis, perbincangan Islam sebagai ideologi politik mencapai puncaknya. Bersamaan dengan itu, Ormas Islam yang selama Orde Baru tiarap dan lebih banyak bergerak di bawah tanah Setelah Pemilu 1971, ada usaha untuk menfusi partai-partai oleh Orde Baru karena dianggap tidak efektif. Pada tahun 1973, kemudian lahir PPP yang merupakan gabungan dari NU, MI, PSII, Parmusi dan Perti. Sementara partai nasionalis dan Kristen bergabung dengan PDI. Lihat Saiful Muzani, “The Devaluation of Aliran Politics Views of the Third Congress of PPP”, Studia Islamika, Vol. 1, No. 3 1994, 177-219. Dua tokoh sentral umat Islam pada era tersebut, Gus Dur dan Amien Rais hanya mampu mengusung isu-isu representasi politik umat Islam, atau yang dikenal dengan “Islam struktural”. Sementara Gus Dur hanya bekutat pada wilayah pribumisasi Islam, atau yang dikenal dengan sebutan “Islam kultural” sebagai jawaban atas stagnasinnya peran politik pada era tersebut. Arif Affandi peny., Islam Demokrasi Atas-Bawah Yogyakarta Pustaka Pelajar, 1997, 2-19. Fundamentalisme dan Masa Depan Volume 9, Nomor 1, September 2014, ISLAMICA bermunculan dengan agenda ideologi politik yang berbeda. Bersamaam dengan era Reformasi, muncul Ormas Majelis Mujahidin Indonesia MMI, Hizbut Tahrir Indonesia HTI, Laskar Ahlus Sunnah Waljamaah, Laskar Jihad, Front Pembela Islam FPI, Dakwah Salafi. Hal yang sama juga terjadi pada partai politik, baik yang secara langsung berafiliasi dengan Ormas Islam maupun yang secara tersembunyi berdiri di belakang Ormas Islam. Baik MMI maupun HTI secara tegas mengusung agenda politik legalisasi hukum Islam dalam sebuah negara, dan menganggap bahwa negara yang tidak menjadikan sharîah sebagai UU dianggap bertentangan dengan Islam. Baik MMI, HTI, FPI, Laskar Jihad yang sering disebut “Gerakan Islam Baru” new Islamic movement merupakan gerakan impor Timur Tengah melalui transmisi gerakan alumni di seluruh para alumni Timur Tengah, gerakan Islam ini dengan cepat menyebar ke masyarakat, baik melalui pesantren, madrasah, h}alâqah, hingga Ormas dan partai politik. Gerakan Islam tersebut selama ini masih tiarap dan mencari momentum untuk tumbuh dan berkembang sebagai alternatif atas reaksi pemerintah yang cenderung sekuler dan keluar dari ajaran Islam. Penutup Yang dimaksud dengan ideologi politik Islam di sini adalah interpretasi keagamaan dari berbagai ide yang saling berkaitan yang ada dalam aliran-aliran Islam, yang merefleksikan moral, kepentingan, serta komitmen sosial-politik. Ideologi politik Islam tidak bisa dilepaskan dari hubungan agama dan negara dalam Islam, terutama gerakan fundamenlaisme yang secara terorganisir baru muncul abad MMI merupakan organisasi fundamentalis yang dipimpin oleh Abu Bakar Ba’asyir. Salah satu hasil Kongres MMI di Yogyakarta tahun 5-7 Agustus 2000, disebutkan bahwa wajib hukumnya melaksanakan sharîah Islam bagi umat Islam di Indonesia dan di dunia pada umumnya. Sementara UUD 1945 buatan manusia, karena tidak sakral dan bisa berubah sesuai dengan tuntutan zaman. Lihat Abdur Rohim, “Fenomena Fundamentalisme Islam Indonesia MMI”, Akademika, Vol. 16., No. 2 2005, 127-128. Hizbut Tahrir HTdidirikan oleh Taqîy al-Dîn al-Nabhânî 1905-1977, mantan pengikut al-Ikhwân al-Muslimûn dan Hakim di Paletsina. HT Indonesia berusaha untuk melegalisasi khilâfah dalam sebuah negara. Lihat Ainur Rofiq al-Amin, “Transmutation of Ideology Gerakan Hizbut Tahrir”, Akademika, Vol. 16., No. 2 2005, 110-115. Secara jelas tentang sejarah transmisi ini lihat, M. Imdadun Rahmat, Arus Baru Islam Radikal Transmisi Revivalisme Islam Timur Tengah ke Indonesia Jakarta Erlangga, 2002, 71-121. ISLAMICA, Volume 9, Nomor 1, September 2014 19 di Saudi Arabia dan Mesir namun benihnya sudah ditanam sejak era Ibn H}anbal, tiga abad setelah Nabi meninggal. Dalam perkembangannya, muncul berbagai diversifikasi hubungan yang bermuara pada pengejewentahan ideologi politik Islam. Hubungan tersebut adalah Pertama,, hubungan yang bercorak skriptualis-rasional. Polarisasi ini berhubungan dengan pendekatan terhadap sumber al-Qur’ân dan H}adîth. Kecenderungan skriptualistik-rasional melahirkan pemahaman tekstualistik dan literalistik, penasfsiran yang berorientasi pada bahasa. Kedua kecenderungan idealis-realis. Pendekatan pertama cenderung melakukan idealisasi terhadap sistem pemerintahan dengan menawarkan nilai-nilai Islam ideal. Termasuk dalam kecenderungan ini adalah penafsiran negara yang bersifat filosofis. Sementara kecenderungan realis menolak terhadap kecenderungan idealis, dan menerima semua kenyataan pemerintahan dalam Islam dengan konsekuensi memberikan legitimasi kekuasaan atau mengontrol kekuasaan. Ketiga, formalis-substantif. Konsep formalistik lebih mengedepankan bentuk dari pada isi. Pembentukan negara menurut paham ini dengan menampilkan simbol keagamaan dalam negara. Sementara kecenderungan substantif lebih menekankan isi daripada bentuk. Dalam wilayah ini, format negara bukan sesuatu yang penting melainkan nilai yang terkandung di dalamnya. Dalam sejarah Islam Indonesia terdapat polarisasi yang sangat kaya. Sejak zaman pra-kemerdekaan, Islam sudah menunjukkan yang beraneka ragam yang dipresentasikan oleh Ormas atau Orsospol. Oleh para pengamat keberagaman Islam ini diidentifikasi dengan berbagai nama atau label. Ada Islam tradisionalis, Islam modernis, Islam puritan, Islam skriptualis, Islam substantif, Islam literal, Islam ekstrem, Islam militan, Islam abangan, Islam nasionalis hingga Islam liberal. Demikian pula ketika Islam sudah masuk pada area ideologi politik, baik yang secara terang-terangan memakai baju partai politik maupun Ormas Islam, maupun secara tersembunyi yang berusaha mengusung ideologi politik Islam. Daftar Rujukan Affandi, Arif peny.. Islam Demokrasi Atas-Bawah. Yogyakarta Pustaka Pelajar, 1997. al-Amin, Ainur Rofiq. “Transmutation of Ideology Gerakan Hizbut Tahrir”, Akademika, Vol. 16., No. 2, 2005. Fundamentalisme dan Masa Depan Volume 9, Nomor 1, September 2014, ISLAMICA al-Jabiri, Muhammad Abid. Agama, Negara dan Penerapan Syari’ah, terj. Mujiburrahman. Yogyakarta Pustaka Fajar Baru, 2001. al-Maududi, Abu A’la. Khilafah dan Kerajaan, terj. Muhammad Baqir. Bandung Mizan, 1994. Azra, Azyumardi. Pergolakan Politik Islam dari Fundamentalisme, Modernisme hingga Post-Modernisme. Jakarta Paramadina, 1996. Ball, Terrence dan Dagger, Richard. Political Ideologies and the Demodratic Ideal. New York Harper Collins College Publishers, 1995. Binder, Leonard. Islamic Liberalism. Chicago Chicago University Press, 1988. Bruinessen, Martin van. NU, Tradisi, Relasi Kuasa, dan Pencarian Makna Baru, terj. Farid Wajidi. Yogyakarta LKiS, 1994. Chalik, Abdul. Islam dan Kekuasaan. Yogyakarta Interpena, 2012. Crecelius, Daniel. “Nonideological Responses of The Egyptian Ulama to Modernization”, dalam Nikki R. Keddie, Scholars Saints and Sufis. California University of California Press, 1978. Dant, Tim. “A Modern Approach to Ideological Critique” dalam Knowledge, Ideology and Discourse A Sociological Perspective. London Routledge, 1991. Haidar, Ali. NU dan Islam Indonesia. Jakarta Gramedia, 1994. Jainuri, Achmad. Orientasi Ideologi Gerakan Islam. Surabaya LPAM, 2004. Khan, Qomarudin. Pemikiran Politik Ibnu Taimiyyah, terj. Anas Mahyudin. Bandung Pustaka, 1983. Khuluq, Lathiful. “Sarekat Islam Its Rise, Peak, and Fall”, al-Jamiah, No. 60, 1997. Magnis-Suseno, Franz. Filsafat sebagai Ilmu Kritis. Yogyakarta Penerbit Kanisius, 1995. Maliki, Zainuddin. Narasi Agung Tiga Teori Sosial Hegemonik. Surabaya LPPAM, 2004. Mannheim, Karl. Ideology. London Routledge dan Kegan Paul, 1989. Muzani, Saiful. “The Devaluation of Aliran Politics Views of the Third Congress of PPP”, Studia Islamika, Vol. 1, No. 3, 1994. Pecheux, Michel. “The Mechanism of Ideological mis-Recognition” dalam Slavoj Zizek ed., Mapping Ideology. London UK, 1994. Rahmat, M. Imdadun. Arus Baru Islam Radikal Transmisi Revivalisme Islam Timur Tengah ke Indonesia. Jakarta Erlangga, 2002. Rohim, Abdur. “Fenomena Fundamentalisme Islam Indonesia MMI”, Akademika, Vol. 16., No. 2, 2005. ISLAMICA, Volume 9, Nomor 1, September 2014 Sagiv, David. Islam Otentisitas Liberalisme, terj. Yudian W. Asmin. Yogyakarta LKiS, 1997. Wals, David. “Kata Pengantar” dalam David Walls. After Ideology Recovering the Spritual Foundations of Freedom. Washington DC The University of Catholic Press, 1990. ... Realitas keislaman dunia Islam saat ini disuguhi dengan berbagai macam bentuk, di antaranya adalah kelompok Islam yang diidentifikasikan fundamentalis dan ada pula yang moderat. Fundamentalisme merupakan sebuah paham keagamaan yang seluruh pandangan dunia dan kehidupannya didasarkan pada kitab suci Chalik, 2015;Noor, 2016;Zulfadli, 2017. Jadi, ideologi fundamentalisme merupakan sebuah paham keagamaan yang menggunakan agama sebagai sistem politik dan kitab suci dijadikan sebagai landasan berpijak. ...Albeit the research into Junaid Sulaeman as the most famous Islamic Cleric in South Sulawesi was extensively undertaken, little empirical research addressed his political biography. This research aimed to explore his political Hijrah from Islamic fundamentalism to Islamic moderate. This research adopted a biography study design. To collect data, a documentary analysis based on Junaid Sulaeman’s diary and in-depth interview were conducted. The data analysis was carried out thematically using Azra’s and Al-Jauhari’s concept of fundamental and moderate Islam. The research revealed three findings. First, Junaid Sulaeman’s political Hijrah was conducted from Darul Islam toward Golongan Karya party. Second, the factors that drove Junaid Sulaeman’s participation in the political movement included the changing of socio-political context, the breadth and depth of his religious knowledge, the need to get Allah's guidance, and the consideration of dawah. Third, the implications of Junaid Sulaeman's political movement were known from the expansion of his local and national network, as well as the development of socio-religious institutions in Bone. The research concluded that a good cooperation between the ulama and the government could provide more benefits and blessings to the community. Irham IrhamZakaria Husin LubisThis article is written to explain the dynamics of contemporary Islamic thought and the role of Islamic education as one of its supports. The dynamics of Islamic thought are diverse but have the same character that is opposite thoughts and thoughts that seek common ground. The opposite thoughts depicting here are Islamic fundamentalism and liberalism. Then the thought that seeks common ground here is called hybrid thought. This article is a literature review by utilizing the findings in the previous study formulated into new findings that have not been discussed in the previous study. This paper concludes that the dynamic of contemporary Islamic thought with its character grows not from the role of Islamic education. Although it cannot be denied that the role of Islamic education in this case is not the only one, because there are other factors such as historical, political, technological, globalization, modernization, social and cultural contexts. Fundamental Islamic thought can be sustained and developed by an ideological-purist Islamic education model manhaj salafi. Likewise, the form of liberal thinking and development by an academic-scientifically oriented, rational and secular model of education. Hybrid forms of thought that are supported by a moderate-inclusive education model that develop textual-contextual methods, balance nasal sources, reason and intuitive, accommodate old and modern traditions that are still relevant and do not conflict with religious values. الملخص هذه المقالة تقصد لشرح ديناميات الفكرة الاسلامية المعاصرة و دور التعليم الاسلام الذي أصبح في عداد من دماعته . أن ديناميات الفكرة الاسلامية مختلفة ولكن لديها صبغة يعنى الفكرالذي ينعكس بعضها بعضا، والفكر الذي يسعى النتيجة . والفكر المنعكس الذى شرح هنا هي الأصولية والليبرالية الاسلام . ثم الفكرالذي يبتغي النتائج هنا يسمى بفكر الهجين . هذا المقال يقولب مراجعة الادبيات التى تستخدم النتائج في دراسة السابق ثم وضعت ليكون المكتشف الجديد الذي لم يبحث في دراسة السابق . هذه الكتابة تجمل أن ديناميات الفكرة الاسلامية المعاصرة مع طبيعتها نشأت لا تتخلع من دور التعليم الاسلام . وعلى الرغم ، لاشك أن دور التعليم الاسلام ليست وحدة في هذه الحالة ، لأن هناك عوامل أخرى مثل العوامل التاريخ ، والسياسية ، والتكنولوجي ، والعولمة ، والتحديثة ، وسياق الاجتماعية والثقافية . الفكرة الاسلامية الاصولية مستمرة و يبنى أو يولد عن شكل التعليم الاسلام العقائدي المنهج السلفي . لذلك أيضا شكل من الفكر الليبرالي مستمرة و يولد عن شكل التعليم المنحى في الدرسي العمي ، عقلي ، و زمني . و شكل الفكر الهجين مستمرة عن شكل التعليم الوسطي ضمنا الذي تطورأساليب النصية والسياقية , يتوازن مصدر النص حيلة وبديهية ، تكيف التقليد القديم والحديث كان وثيق و لا يتعارض عن قيمة الدين . Abstrak Artikel ini bermaksud untuk menjelaskan dinamika pemikiran Islam kontemporer dan peran pendidikan Islam yang menjadi salah satu penopangnya. Dinamika pemikiran Islam itu beragam namun memiliki karakter yang sama yaitu pemikiran yang saling berlawanan dan pemikiran yang mencari titik temu. Pemikiran yang saling berlawanan yang dijelaskan di sini adalah fundamentalismedan liberalisme Islam. Kemudian pemikiran yang mencari titik temu di sinidisebut dengan pemikiran hybrid. Artikel ini merupakan kajian pustaka dengan memanfaatkan temuan-temuan dalam kajian terdahulu lalu dirumuskan menjadi temuan baru yang belum dibahas pada kajian ini menyimpulkan bahwa dinamika pemikiran Islam kontemporer dengan karakternya tumbuh berkembang tidak terlepas dari peran pendidikan Islam. Meskipun tidak dipungkiri bahwa peran pendidikan Islam dalam hal ini bukan satu-satunya, karena masih ada faktor lainnya seperti faktor sejarah, politik, teknologi, globalisasi, modernisasi, konteks sosial dan budaya. Pemikiran Islam fundamental dapat ditopang dan dilahirkan oleh model pendidikan Islam idiologis-puris manhaj salafi. Begitu pula bentuk pemikiran liberal ditopang dan dilahirkan oleh model pendidikan yang berorientasi akademik-ilmiah, rasional dan sekuler. Bentuk pemikiran hybridditopang oleh model pendidikan moderat-inklusif yang mengembangkan metode tekstual-kontekstual, menyeimbangkan sumber nas}, akal dan intuitif, mengakomodasi tradisi lama dan modern yang masih relevan dan tidak bertentangan dengan nilai agama. Abdul ChalikDuring the weakening of bargaining position of Islam in world’s view because of terrorism issue after the Black September 2001’, ISIS arise, a socio-political organization that is even more extreme than the predecessor, al-Qaeda. ISIS not only make the West afraid because of all the exploitation, especially after the Paris terror in the mid of November 2015, but also hurt the feeling of Muslims as they involve the name of Islam-while the behavior is contrary to the belief in Islam. Geopolitically, the position of Islamic world is in dilemma; one side it must deal with the Muslims, while on the other side it should be in synergy with foreign powers against its own nation or brothers. The Islamic world position to face the power of ISIS is weak. Different from ISIS or al-Qaeda which is extreme and exclusive, Islam Nusantara is on the contrary. This article was written by a descriptive-explorative method by presenting the issues of the Islamic world today and its relationship with the ideology of Islam Nusantara being built. Abstrak Peranan Islam Nusantara dalam Dinamika Geopolitik Dunia Islam. Tulisan ini berangkat dari kegelisahan terhadap lahirnya ISIS, sebuah gerakan sosial politik yang lebih ekstrim dibandingkan dengan pendahulunya, al-Qaeda. Satu sisi, organisasi ini tidak saja membuat Barat ketakutan atas segala sepak terjangnya, terutama pasca teror Paris di pertengahan Nopember 2015, pada sisi yang lain juga menciderai perasaan umat Islam karena dianggap mendompleng atas nama agama Islam—sementara perilakunya berlawanan dengan ajaran Islam. Secara geopolitik posisi dunia Islam mengalami dilema; satu sisi harus berhadapan dengan Muslim sendiri sementara pada sisi yang lain harus bersinergi dengan kekuatan asing untuk melawan bangsa atau saudara sendiri. Berbeda dengan Islam ala ISIS atau al-Qaeda yang bercorak ekstrim dan eksklusif, Islam Nusantara berpandangan sebaliknya. Artikel ini ditulis dengan metode ekploratif deskriptif—dengan menyajikan persoalan dunia Islam saat ini dan hubungannya dengan ideologi Islam Nusantara yang sedang dibangun. Keywords Islam Nusantara, Islamic world geopolitics, ISIS Mukodi MukodiThere is an increasing concern as if discussing politics in pesantren Islamic Boarding School was uncommon. This oddity is due to the conception of a person who puts pesantren merely a decontextualised scholarly reproduction of an-sich from the real world problem or real politics and not as an agent of change. In fact, pesantren is a replica of life integrating various life skills, including politics. The most interesting finding was that the diverse activities of life in the boarding school had raised the seedling of students’ political sense. This article also recommends the presence of political boarding school establishment, as a political incubator for Islamic activists as the continuity of conditioning political awareness in pesantren. Its realization is believed to be able to trigger the acceleration of the Islamic ideal leader candidate in Indonesia. Saiful MujaniThis article suggests the political dynamics that occur at the time of the conference the Partai Persatuan Pembangunan PPP, which was held on 29 August to 2 September opinions that say that the congress of the United Development Party PPP that has its own strategic significance because the results will determine the 1997 election and then General Session, 1998. At this General Assembly will take place according to many in the national succession, including the change of state leaders, the president Republic of Indonesia. So many groups concerned with this third congress PPP who is leading the party's control she would participate in such an important time of c 2014 by SDI. All right Agung Tiga Teori Sosial HegemonikZainuddin MalikiMaliki, Zainuddin. Narasi Agung Tiga Teori Sosial Hegemonik. Surabaya LPPAM, Otentisitas Liberalisme, terj. Yudian W. Asmin. Yogyakarta LKiSDavid SagivSagiv, David. Islam Otentisitas Liberalisme, terj. Yudian W. Asmin. Yogyakarta LKiS, sebagai Ilmu KritisFranz Magnis-SusenoMagnis-Suseno, Franz. Filsafat sebagai Ilmu Kritis. Yogyakarta Penerbit Kanisius, Mechanism of Ideological mis-Recognition " dalam Slavoj ZizekMichel PecheuxPecheux, Michel. " The Mechanism of Ideological mis-Recognition " dalam Slavoj Zizek ed., Mapping Ideology. London UK, Politik Islam dari Fundamentalisme, Modernisme hingga Post-ModernismeAzyumardi AzraAzra, Azyumardi. Pergolakan Politik Islam dari Fundamentalisme, Modernisme hingga Post-Modernisme. Jakarta Paramadina, JainuriOrientasi Ideologi GerakanIslamJainuri, Achmad. Orientasi Ideologi Gerakan Islam. Surabaya LPAM, Baru Islam Radikal Transmisi Revivalisme Islam Timur Tengah ke IndonesiaM RahmatImdadunRahmat, M. Imdadun. Arus Baru Islam Radikal Transmisi Revivalisme Islam Timur Tengah ke Indonesia. Jakarta Erlangga, 2002.
Cara melihat masa depan – Masa depan setiap orang adalah rahasia Allah dan akan selalu menjadi misteri bagi manusia. Tidak ada seorang pun manusia yang dapat mengetahui masa depan dirinya maupun orang lain. Hal ini tampak dalam firman Allah. “Sesungguhnya Allah, hanya pada sisi-Nya sajalah pengetahuan tentang Hari Kiamat; dan Dia-lah Yang menurunkan hujan, serta mengetahui apa yang ada dalam rahim. Dan tiada seorangpun yang dapat mengetahui dengan pasti apa yang akan diusahakannya besok. Tiada seorangpun yang dapat mengetahui di bumi mana dia akan mati. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.” QS. Luqman 34. Cara melihat masa depan sebenarnya dapat di lakukan dengan mudah karena masa depan kita adalah hasil dari apa yang kita lakukan hari ini. Hanya Allah saja yang mengetahui masa depan manusia, meliputi rezeki, jodoh, karier, maut, dan sebegainya. Untuk itu, bagi seorang muslim yang beriman, dirinya tidak akan memprediksi apa yang akan terjadi pada masa depannya. Apalagi melalui ramalan karena hal tersebut akan membuat dirinya terjatuh dalam dosa atau perbuatan musyrik. Dengan meyakini Allah Sang Maha Tahu Masa Depan maka Anda tidak perlu cemas dalam menghadapi masa depan. Karena sesungguhnya masa depan kita adalah apa yang kita lakukan hari ini. Yang bisa Anda lakukan saat ini adalah melihat masa depan dengan melakukan berbagai hal kebaikan. Hal ini bertujuan untuk menyiasati masa depan dengan selalu tawakal kepada Allah dan menyiapkan bekal kebaikan. Lalu, bagaimanakah cara melihat masa depan sesuai ajaran agama Islam? Baca juga 7 Langkah Kunci Kesuksesan Dalam Hidup Berikut ini beberapa cara melihat masa depan menurut Islam yang dapat Anda lakukan. Dengan melakukan berbabagi car di bawah ini, niscaya masa depan Anda akan tergambar jelas dan baik. Semoga bermanfaat. 1. Cara melihat masa depan dengan selalu meningkatkan keimanan “Janganlah kamu bersikap lemah, dan janganlah pula kamu bersedih hati, padahal kamulah orang-orang yang paling tinggi derajatnya, jika kamu orang-orang yang beriman.” Qs. Ali Imron 139. “Sesungguhnya orang-orang yang beriman, mengerjakan amal saleh, mendirikan shalat dan menunaikan zakat, mereka mendapat pahala di sisi Tuhannya. Tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak pula mereka bersedih hati.” Qs. AlBaqarah 277. 2. Cara melihat masa depan dengan selalu bertaqwa kepada Allah “Dan tidaklah Kami mengutus para rasul itu melainkan untuk memberikan kabar gembira dan memberi peringatan. Barangsiapa yang beriman dan mengadakan perbaika, maka tak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak pula mereka bersedih hati.” Qs. Al-An’am 48 “Ingatlah, sesungguhnya wali-wali Allah itu, tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak pula mereka bersedih hati. Yaitu orang-orang yang beriman dan mereka selalu bertakwa. Bagi mereka berita gembira di dalam kehidupan di dunia dan dalam kehidupan} di akhirat. Tidak ada perobahan bagi kalimat-kalimat janji-janji Allah. Yang demikian itu adalah kemenangan yang besar.” Qs. Yunus 62-64. Baca juga Mencari Ketenangan Hati dan Pikiran? Lakukan 6 Hal Ini, dan Temukan! 3. Cara melihat masa depan dengan selalu beristiqomah “Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan “Tuhan kami ialah Allah”, kemudian mereka tetap istiqamah maka tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan mereka tiada pula berduka cita. Mereka itulah penghuni-penghuni surga, mereka kekal di dalamnya; sebagai balasan atas apa yang telah mereka kerjakan.” Qs. Al-Ahqaf 13-14. 4. Cara melihat masa depan dengan selalu mengikuti petujuk Allah Kami berfirman “Turunlah kamu semuanya dari surga itu! Kemudian jika datang petunjuk-Ku kepada kalian, maka barang siapa yang mengikuti petunjuk-Ku, niscaya tidak ada kekhawatiran atas mereka, dan tidak pula mereka bersedih hati.” Qs. AlBaqarah 38. 5. Cara melihat masa depan dengan selalu bersikap ikhlas “Tidak demikian bahkan barangsiapa yang menyerahkan diri kepada Allah, sedang ia berbuat kebajikan, maka baginya pahala pada sisi Tuhannya dan tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak pula mereka bersedih hati.” Qs. AlBaqarah 112. Baca juga 10 Ayat Alquran Tentang Ikhlas sebagai Tuntunan Hidup Kapsul Bioenergi 6. Cara melihat masa depan dengan selalu bekerja keras “Bekerjalah kamu, maka Allah dan Rasul-Nya serta orang-orang mukmin akan melihat pekerjaanmu itu, dan kamu akan dikembalikan kepada Allah Yang Mengetahui akan yang ghaib dan yang nyata, lalu diberitakan-Nya kepada kamu apa yang telah kamu kerjakanDan Katakanlah “Bekerjalah kamu, maka Allah dan Rasul-Nya serta orang-orang mukmin akan melihat pekerjaanmu itu, dan kamu akan dikembalikan kepada Allah Yang Mengetahui akan yang ghaib dan yang nyata, lalu diberitakan-Nya kepada kamu apa yang telah kamu kerjakan.” Qs. At-Taubah 105. Baca juga Kapsul Bioenergi Teknologi Spiritual Solusi Karir & Bisnis Demikian beberapa cara melihat masa depan yang dapat Anda lakukan menurut agama Islam. Dengan melakukan cara di atas, dijamin masa depan Anda akan selalu baik. Untuk itu, Anda tak perlu merasa cemas ataupun takut dalam menghadapi masa depan. Seiring melakukan berbagai hal di atas, Anda pun perlu meningkatkan kualitas diri dengan mengonsumsi Kapsul Bioenergi dari Bioenergi Center yang terbuat dari bahan herbal halal dan berkhasiat. Dengan mengonsumsi kapsul ini, diharapkan Anda dapat membuka aura atau energi positif dari dalam diri Anda sehingga setiap pikiran, perkataan, dan perbuatan Anda akan selalu positif dan sesuai dengan kehendak Allah. Dengan begitu, hidup Anda akan menjadi lebih tenang dan bahagia. Baca juga Cara Mewujudkan Harapan Keinginan Dengan Mudah
Pengenalan Dalam peradaban manusia, kita seringkali akan melihat perkembangan dan kemajuan individu, keluarga, komuniti, masyarakat dan negara. Apa yang dibincangkan dalam pengajian peradaban adalah demi kebaikan dan kebahagiaan manusia serta perubahan ke arah kehidupan yang lebih baik. Masa depan peradaban manusia bergantung kepada ketinggian ilmu yang ada pada seseorang individu, masyarakat atau sesuatu peradaban. Semestinya ilmu yang dimaksudkan di sini ialah ilmu yang bermanfaat dan dipraktikkan. Ilmu yang tidak dipraktikkan akan lesu dan mati. Peradaban yang menjulang ilmu akan menjadi peradaban yang terkehadapan manakala peradaban yang meremeh-temehkan ilmu akan menjadi peradaban yang terkebelakang. Peradaban yang mementingkan ilmu akan menang manakala peradaban yang meminggirkan ilmu akan kalah. Dalam peradaban Islam, keperluan duniawi dilihat sebagai cara untuk mencapai keperluan ukhrawi dan mendapatkan keredaan Allah. Perkembangan Ilmu Dalam Peradaban Manusia Musuh kita adalah kejahilan kita sendiri, bukannya Amerika, sekutunya, barat ataupun timur. Manusia akan berfikir apabila ingin menyelesaikan masalah atau rasa ingin tahu. Dua pengetahuan asas yang muncul dalam peradaban manusia ialah pengetahuan tentang penulisan dan matematik. Manusia telah menggunakan piktografi bahasa simbol yang menerangkan sesuatu maksud. Maklumat mudah direkodkan apabila manusia menguasai sistem tulisan. Apabila huruf diperkenalkan, manusia mula melakukan usaha-usaha penterjemahan. Usaha penterjemahan dan kepentingan matematik tetap akan relevan untuk masa depan tamadun manusia. Orang-orang Islam terpaksa belajar Bahasa Greek dan Latin dalam usaha mempelajari berbagai disiplin yang telah dimulakan pencariannya oleh orang-orang dalam tamadun Discover the world's research25+ million members160+ million publication billion citationsJoin for free BAB 15 – Amini Amir Islam Yang Dinamik. Serdang Penerbit Universiti Putra Malaysia. MASA DEPAN PERADABAN MANUSIA Pengenalan Dalam peradaban manusia, kita seringkali akan melihat perkembangan dan kemajuan individu, keluarga, komuniti, masyarakat dan negara. Apa yang dibincangkan dalam pengajian peradaban adalah demi kebaikan dan kebahagiaan manusia serta perubahan ke arah kehidupan yang lebih baik. Masa depan peradaban manusia bergantung kepada ketinggian ilmu yang ada pada seseorang individu, masyarakat atau sesuatu peradaban. Semestinya ilmu yang dimaksudkan di sini ialah ilmu yang bermanfaat dan dipraktikkan. Ilmu yang tidak dipraktikkan akan lesu dan mati. Peradaban yang menjulang ilmu akan menjadi peradaban yang terkehadapan manakala peradaban yang meremeh-temehkan ilmu akan menjadi peradaban yang terkebelakang. Peradaban yang mementingkan ilmu akan menang manakala peradaban yang meminggirkan ilmu akan kalah. Dalam peradaban Islam, keperluan duniawi dilihat sebagai cara untuk mencapai keperluan ukhrawi dan mendapatkan keredaan Allah. Perkembangan Ilmu Dalam Peradaban Manusia Musuh kita adalah kejahilan kita sendiri, bukannya Amerika, sekutunya, barat ataupun timur. Manusia akan berfikir apabila ingin menyelesaikan masalah atau rasa ingin tahu. Dua pengetahuan asas yang muncul dalam peradaban manusia ialah pengetahuan tentang penulisan dan matematik. Manusia telah menggunakan piktografi bahasa simbol yang menerangkan sesuatu maksud. Maklumat mudah direkodkan apabila manusia menguasai sistem tulisan. Apabila huruf diperkenalkan, manusia mula melakukan usaha-usaha penterjemahan. Usaha penterjemahan dan kepentingan matematik tetap akan relevan untuk masa depan tamadun manusia. Orang-orang Islam terpaksa belajar Bahasa Greek dan Latin dalam usaha mempelajari berbagai disiplin yang telah dimulakan pencariannya oleh orang-orang dalam tamadun Greek. Akhirnya orang-orang Islam telah berjaya menterjemahkan karya-karya Greek dan Latin dan mem”bumi”kan ilmu falsafah dan ilmu yang dipelajari daripada orang-orang Greek mengikut acuan epistomologi Islam. Orang-orang Barat terpaksa mempelajari bahasa Arab dalam usaha mereka untuk memahami ilmu-ilmu yang dikuasai oleh orang Islam untuk dibawa balik ke Eropah dan negara-negara Barat yang lain. Proses ini tetap akan berlaku dalam tamadun manusia masa hadapan. Peradaban Ilmu dan Perkembangan Ilmu Pengetahuan Rasa ingin menyelesaikan masalah menyebabkan manusia berfikir. Manusia beroleh ilmu dan pengetahuan apabila manusia berfikir dan mencari ilmu pengetahuan. Sebelum tulisan tercipta, manusia menggunakan tanda, rajah ataupun simbol-simbol. Dengan cara itu, manusia mula merekodkan segala pengalaman mereka walaupun begitu terhad. Apabila terciptanya tulisan, manusia mula merekodkan segala pengetahuan dan pengalaman mereka tanpa sebarang limitasi. Asas kepada pembangunan zaman moden bertitik tolak daripada pemerolehan ilmu pengetahuan dan kemajuannya. Membaca untuk meraih ilmu pengetahuan adalah aktiviti pertama yang mencetuskan kemodenan. Justeru, Islamlah yang pertama mencetuskan tabiat membaca dan kelahiran Islam merupakan titik tolak kepada permulaan kemodenan sebenarnya. Persoalan sikap pula merupakan perkara yang sama penting dengan persoalan ilmu. Orang yang berilmu perlu mengubah sikap untuk memajukan kehidupannya. Masa depan peradaban manusia bergantung kepada dua perkara ini; iaitu sejauhmana tabiat membaca dan memperbetulkan sikap negatif menjadi budaya dan amalan dalam kehidupan manusia? Terdapat ungkapan Arab lama “Tuntutlah ilmu walaupun ke negeri China”. Pada zaman Rasulullah barangkali orang-orang Yathrib masih belum mengetahui kewujudan tamadun China. Terdapat delegasi Arab yang mengunjungi China ketika zaman Saidina Umar Al-Khattab Dalam banyak negara-negara Timur, negara China menjadi sebutan di kalangan orang Arab dan dikaitkan pula dengan kepentingan menuntut ilmu pengetahuan. Justeru, dalam peradaban Islam, persoalan interaksi peradaban sudah bermula sejak zaman awal perkembangan Islam lagi. Kedua, perkembangan dan kemajuan peradaban Islam membuktikan ilmu pengetahuan penting dalam pembangunan dan kemajuan peradaban. Melalui ilmu, manusia dapat memperolehi dan menyerlahkan hakikat keadilan serta kebenaran. Masa depan peradaban manusia bergantung kepada sejauh mana manusia belajar mengenai manusia dan kehidupannya yang mencakupi individu dan masyarakat serta kehidupan mereka yang berbagai warna kulit, bangsa, keturunan, asal-usul, darjat, martabat, pangkat, kuasa, kedudukan dan seumpamanya. Peradaban akan berkelangsungan sekiranya manusia menggunakan ilmu untuk menyelesaikan masalah manusia dan kehidupannya. Dalam pengajian peradaban, kita akan bertemu pelbagai paparan sejarah dan pengajaran tentang kepatuhan kepada manusia kepada sistem kepercayaan dan sistem nilai masing-masing, kejujuran dan keikhlasan, kesopanan, keluhuran budi pekerti, tradisi dan adat resam, inisiatif, penciptaan, inovasi, usaha manusia dan ikhtiar. Semua ini menyumbang kepada perkembangan dan kemajuan peradaban. Semuanya adalah ilmu dan budaya yang penting bagi masa depan peradaban. Sekularisme, Globalisasi dan Ilmu Sekularisme akan terus bermaharajalela di dalam pemikiran dan tindakan umat manusia kerana apabila wujud pemisahan kehidupan dengan keagamaan, maka selagi itulah ia akan terus berkembang mekar hasil daripada warisan lampau dan masakini. Kesannya telah nyata kepada masyarakat Barat. Bagi mereka, nilaian agama hanya pada unsur-unsur keagamaan dan spirituil malah situasi mutakhir ini menunjukkan bahawa nilai agama hanya tinggal sebagai lambang dan ceremonial. Tidak mustahil agama di Barat juga akan musnah. Masyarakat Barat telah jauh terpesong bukan sahaja dari sudut keagamaan mereka malah mereka juga telah mencemarkan etika dan moral kemanusiaan. Pejuang-pejuang homoseksual dan lesbian menjadi juara’ yang mampu mempengaruhi para pemimpin mereka sekaligus membuktikan betapa pencemaran etika dan moral ini semakin berleluasa. Di beberapa negara Barat, aktiviti-aktiviti ini tidak menyalahi undang-undang. Inilah kesan nyata apabila sekularisme bermaharajalela. Dalam situasi umat dan negara Islam pula, kesan seperti inilah juga yang akan menimpa seandainya sekularisme tidak segera dibendung. Apabila agama dipandang anutan ataupun warisan ataupun amalan-amalan spirituil semata-mata yang tidak menjadi teras dan akar segala tindakan, implikasinya tetap akan serupa seperti yang dialami oleh Barat. Contoh yang lain ialah penggunaan kondom dianggap lebih baik sebagai pencegah HIV Aids daripada ajaran agama yang telah lama mengharamkan perlakuan-perlakuan negatif sosial ini. Modenisme pula, yang berasaskan falsafah materialisme yang menjadi dominan di dunia sekarang ini bukan sahaja dipertuhankan mungkin tidak kelihatan seperti dipertuhankan tetapi ia dijelmakan sebagai suatu bentuk yang diagung-agungkan. Sememangnya Barat boleh dianggap maju dan moden apabila moden dan maju itu dirujuk kepada pembangunan material, kebendaan dan lahiriah. Namun, begitu jika dilihat sebaliknya, mereka amat mundur dalam kemajuan moral dan akhlak. Cathie Madsen Disember 2006 melaporkan empat negara teratas daripada segi kekerapan berlakunya kejadian jenayah secara keseluruhan di dunia didahului oleh Amerika Syarikat, Germany, United Kingdom dan Perancis. Semua negara ini merupakan negara industri dan negara maju daripada segi kebendaan. Sejarah modenisme telah mencatatkan bahawa ianya bermula dengan sekularisme. Jadi, kaitan antara kedua-duanya amatlah erat. Sikap terlalu menonjolkan nilai-nilai moden ditakuti akan menyemarakkan sekularisme sebab modenisme di Barat bertitik-tolak daripada pengingkaran dan pengasingan terhadap nilai-nilai agama Barat itu sendiri di dalam kehidupan mereka. Pada mulanya para modenis mereka bersetuju bahawa doktrin-doktrin keagamaan mereka perlu diulangkaji dan disemak semula untuk menghadapi cabaran perubahan zaman dan perkembangan ilmu pengetahuan tetapi kemudiannya mereka menjadikan asas dan unsur pemodenan itu sebagai dasar utama dan matlamat. Ini menunjukkan mereka telah mengenepikan fungsi agama sebagai neraca dan dasar untuk menghadapi perubahan zaman. Dalam era globalisasi dan kepesatan teknologi maklumat, nilai-nilai Barat yang negatif dan bertentangan dengan Islam dengan senang dapat menular dan mempengaruhi umat Islam. Ditambah pula dengan lemahnya iman dan kekurangan kekuatan jatidiri, individu Islam dengan mudah akan terpikat dan terikut-ikut dengan godaan syaitan dan runtunan nafsu syahwat. Sikap yang memandang remeh kepada masalah besar seperti jenayah dan gejala sosial boleh mengundang padah. Budaya berhibur yang keterlaluan extreme entertainment culture dan budaya hedonisme berseronok yang melampau yang merupakan di antara faktor kejatuhan peradaban Greek boleh meruntuhkan peradaban Melayu Islam. Maka masa depan peradaban manusia bergantung kepada sejauh mana manusia meletakkan pengagungan terhadap ilmu serta praktiknya, kepesatan aktiviti keilmuan dan keaktifan para intelektual. Proses globalisasi negatif telah merobah nilai dan budaya hidup umat Islam. Kebebasan yang keterlaluan yang diberikan kepada anak-anak muda kita telah disalahgunakan. Hiburan terlalu dipentingkan dan dibudayakan hingga hilangnya pengagungan terhadap budaya pembelajaran learning culture dan budaya ilmu knowledge culture. Anak-anak muda sanggup mencari wang berpuluh ringgit untuk berhibur, akan tetapi berapa ramai yang sanggup menghabiskan wang untuk tujuan pengajian dan pembelajaran? Masa Depan Peradaban Manusia Masalah Akibat Penyalahgunaan Dadah Narkotik dan Kes Jangkitan HIV AIDS Pada masa hadapan, dadah akan menjadi masalah manusia dan negara di seluruh dunia yang sangat serius. Perangkaan yang dikeluarkan oleh Pertubuhan Bangsa-bangsa Bersatu menunjukkan bahawa terdapat 190 juta manusia yang terlibat dalam masalah penyalahgunaan dadah. Dadah yang pada asalnya mempunyai banyak kebaikan untuk tujuan perubatan dan kesihatan telah menjadi masalah besar kepada umat dan tamadun manusia apabila manusia mula tahu menyalahgunakannya sama ada untuk tujuan komersial, keseronokan, menyelesaikan masalah dengan cara mudah atau berkhayal. Angka mereka yang terlibat dalam penyalahgunaan dadah meningkat dari masa ke masa terutamanya di kalangan belia. Kebanyakan penagih dadah berumur di bawah 30 tahun. Pada tahun 1999, jumlah negara yang melaporkan penyalahgunaan dadah melalui jarum suntikan ialah sebanyak 136 negara dan merupakan satu peningkatan berbanding 80 negara sahaja pada tahun 1992. Daripada jumlah ini, 93 negara telah mengenalpasti kewujudan HIV di kalangan penagih-penagih dadah melalui jarum suntikan. Walau bagaimanapun, ganja dan kanabis dikenalpasti sebagai jenis dadah yang paling banyak disalahgunakan di seluruh dunia. Kos penyalahgunaan dadah di Amerika Syarikat sahaja dianggarkan berjumlah 70 billion dolar Amerika setahun. Industri dadah yang tidak sah dianggarkan berjumlah lebih 400 billion dolar setahun bagi seluruh dunia. 35 tahun tahun dahulu, hanya ada sebilangan kecil jenis dadah; antaranya ganja, morfin, heroin, candu dan dadah lain yang kurang terkenal. Berbeza dengan sekarang, dadah terbahagi kepada narkotik, halusinogenik, stimulant ecstasy dan syabu dan depressant seperti painkiller dan ubat penenang. Manusia akan berusaha membuat keuntungan dengan cepat walaupun bertentangan dengan undang-undang. Kita akan menyaksikan pada masa hadapan kemunculan lebih banyak kes penyalahgunaan dadah dalam kategori stimulant dan depressant. Di Malaysia, permasalahan dadah dianggap sebagai musuh nombor satu negara. Dalam tempoh 30 tahun, rakyat Malaysia yang terlibat dengan gejala dadah berjumlah 235,495 orang. Ini adalah kes yang dilaporkan. Jumlah sebenar adalah sebanyak dua kali ganda atau mungkin tiga kali ganda. Pada tahun 2003 sahaja, seramai 113 orang penagih dilaporkan meningkat setiap hari. Dikaporkan juga daripada bulan Januari hingga April 2003, penagih baru berjumlah 6940 orang manakala penagih berulang ialah seramai 6579 orang. Majoriti penagih dadah di Malaysia ialah lelaki dan berbangsa Melayu yang berumur di antara 20 hingga 44 tahun. Kita menjangkakan masalah dadah akan menjadi semakin serius di dunia. Kewujudan jenis dadah sedia ada seperti dadah jenis Heroin, Morfin, candu, ganja, pil psikotropik, Ecstasy, Gam, Syabu, Methamphetamine, Amphetamine, Kodein atau ubat batuk akan di”ubahsuai” untuk memenuhi citarasa penagih dadah. Permasalahan HIV AIDS juga merupakan masalah Negara. Ia mula dikesan di Malaysia pada tahun 1986. Bilangan kanak-kanak berumur 19 tahun ke bawah yang dijangkiti HIV ialah seramai 513 orang pada tahun 1986. Pada sembilan bulan pertama tahun 1997 sahaja seramai 66 orang yang berumur 19 tahun ke bawah telah dijangkiti HIV. Pada pengakhir tahun 2000, jumlah keseluruhan jangkitan HIV yang dilaporkan kepada Kementerian Kesihatan Malaysia ialah sebanyak 38,340 kes. Daripada jumlah ini, sebanyak 2722 adalah merupakan kes AIDS. Pada tahun 2003 terdapat 90,000 orang menghidap HIV/AIDS akibat daripada gejala penagihan dadah dan berlaku pertambahan 19 penghidap setiap hari. Masa depan peradaban manusia boleh mengalami kehancuran sekiranya wabak HIV-AIDS tidak dibendung segera. Dianggarkan seramai 33 juta manusia dijangkiti HIV di seluruh dunia pada tahun 2007 sahaja. 2 juta jiwa telah terkorban akibat AIDS dan juta kes jangkitan HIV berlaku setiap tahun. Beberapa negara mencatatkan penurunan kes-kes jangkitan HIV baharu tetapi beberapa negara lain pula menunjukkan beberapa peningkatan dari segi angka dan jumlah. Di semua negara, wanita lebih banyak dijangkiti berbanding lelaki. Kalau kita mahu menyelamatkan tamadun manusia, kita perlu menyekat aktiviti perkongsian suntikan, pergaulan dan seks bebas serta penagihan dadah. Pengukur Peradaban Dan Impak Sains Serta Teknologi Masa depan peradaban manusia bergantung kepada sejauh mana pencapaian dan pembangunan manusia dalam segala bidang termasuklah dalam bentuk fizikal mahupun spirituil. Maju mundurnya peradaban manusia boleh diukur melalui pencapaian ini. Pengukur pembangunan ialah pencapaian-pencapaian manusia dalam segala aspek kehidupan untuk meningkat maju dan berkembang yang memberi manfaat kepada individu, keluarga, komuniti ataupun masyarakat yang mencakupi perkembangan dalam bidang industri, kraftangan, sains dan teknologi, ICT, pertanian, ekonomi, peningkatan taraf hidup, kesusasteraan, kebudayaan, kesenian dan sistem kepercayaan. Pengukur pembangunan rohani dan spirituil pula ialah jumlah ibadah yang dilakukan dengan penuh ketulusan dan keikhlasan. Masyarakat atau peradaban yang paling banyak menguasai ilmu, pengetahuan dan maklumat akan menguasai dunia. Richard Hunter 2002 telah meramalkan tamadun masa depan akan berlakunya kebocoran maklumat-maklumat sulit, rahsia dan privasi kerana ia mudah untuk diperolehi dengan menggunakan teknologi-teknologi pemerolehan informasi yang semakin canggih. Semua maklumat ini kemungkinan akan berguna untuk tamadun manusia ataupun berpotensi untuk disalahguna secara serius. Teknologi-teknologi baru ini akan memberikan impak yang besar kepada cara kita hidup dan bekerja. Interaksi Ilmu, Masa Depan Peradaban Dan Penjanaan Kemajuan Ilmu Peradaban Islam mewakili semua peradaban dunia dari sudut integrasi komponen-komponen utama peradaban ditambah dengan pembangunan dan kemajuan spirituil yang menonjolkan keunikan Islam itu sendiri. Masa depan peradaban bergantung kepada sejauh mana manusia menjana satu kekuatan dan kemantapan yang komprehensif dan berintegrasi yang menggabungkan kemajuan dan pembangunan ilmu, fizikal, emosi, spirituil, kesejahteraan jasmani dan rohani. Tamadun Mesopotamia, Greek, Yunani, Parsi, Tamadun Lembah Sungai Indus dan tamadun Lembah Hwang Ho mengandungi sekurang-kurangnya salah satu elemen di atas. Dilema peradaban manusia kontemporari berkisar dalam soal sikap dan penguasaan ilmu pengetahuan. Masa depan peradaban manusia bergantung kepada sejauh mana ekstensifnya interaksi peradaban dan pemindahan kemajuan sains dan teknologi daripada satu peradaban ke peradaban yang lain. Interaksi dan transmisi peradaban tidaklah berlaku secara efisien tanpa adanya sikap mengagungkan ilmu pengetahuan, para agamawan dan intelektual. Pembangunan peradaban akan terbantut jika manusia membelakangkan ilmu pengetahuan. Mengambil Iktibar, Belajar Daripada Yang Pakar Dan Tidak Mengulangi Kesilapan Ilmu ketamadunan Barat jarang-jarang membincangkan mengenai permulaan penciptaan manusia. Penciptaan manusia telah dibincangkan dalam al-Qur’an dengan detail yang menerangkan tentang maksud akhirnya ialah kekuasaan dan keagungan Tuhan dan kekerdilan manusia. Maka masa depan peradaban bergantung kepada bagaimana kita ”mengenal” manusia dan diri sendiri dan bagaimana kita memenuhi keperluan hidup manusia, keperluan bermasyarakat dan keperluan bernegara. Dalam tradisi Islam juga kita akan dapati bahawa al-Qur’an telah menerangkan pencapaian peradaban-peradaban terdahulu seperti Kaum Ad, Thamud dan Lut. Begitu juga kita akan dapati beberapa pemerintahan besar dalam peradaban mereka seperti Fir’aun, Namrud, Balqis dan seumpamanya. Saya percaya, masa depan peradaban manusia bergantung kepada sejauh mana kita mengambil iktibar daripada peradaban-peradaban terdahulu dan memperbaiki kesilapan-kesilapan dan tidak mengulangi peradaban terdahulu. Kita juga perlukan lebih ramai pakar yang mengajar dan membimbing dalam pelbagai bidang ilmu untuk memajukan peradaban. Kita perlukan historical engineering pemerkeyasaan sejarah untuk menghadapi zaman mendatang iaitu zaman angkasa space age seperti yang diungkapkan oleh Baron Von Volsung 2003 agar kita dapat mengaplikasikan prinsip-prinsip saintifik, matematik, fizik, penkomputeran dan kejuruteraan untuk mengumpulkan data, menganalisa, memproses dan merancang maklumat-maklumat sejarah masa lampau dan masa kini untuk merancang, membina, menghadapi dan memajukan masa hadapan. Historical Engineering adalah satu aspek penting yang melebihi kepentingan pembelajaran sejarah. Kemajuan peradaban masa hadapan akan berkisar dalam konteks penciptaan-penciptaan yang up to date, kecanggihan komputer, mesin, jentera, sains dan teknologi, keunikan nanoteknologi, kemajuan pesat dalam bioteknologi, kejuruteraan, perubatan dan perawatan. Kesemuanya adalah gabungan inovasi dan kreativiti, pembangunan dan pencapaian manusia dari sudut fizikal, emosi, intelektual dan spirituil. Ini akan merobah hampir keseluruhan cara hidup manusia kerana zaman dan keperluan manusia turut berubah. Umat masa hadapan akan mengambil iktibar daripada umat masa kini. Umat masakini pula mengambil banyak iktibar daripada apa yang berlaku kepada manusia dalam peradaban terdahulu. Dalam Al-Quran, Allah menjelaskan bahawa ruang angkasa tidak akan dapat ditembusi dan dilepasi oleh manusia melainkan dengan kekuasaan sultan. Kekuasaan yang dimaksudkan ialah kekuatan ilmu, kekuatan kejuruteraan angkasa, pengetahuan dan maklumat, kekuatan fizikal, persediaan dan berbagai disiplin ilmu-ilmu lain. Peradaban manusia masa hadapan kemungkinan akan menyaksikan penempatan manusia di beberapa planet. Percubaan-percubaan telah dilakukan untuk mencari planet yang sesuai didiami oleh makhluk dan eksperimen masih lagi dijalankan oleh para saintis. Ianya tidak akan dapat dicapai tanpa penyelidikan dan pembangunan yang bermutu tinggi. Pelaburan kewangan dan kepakaran merupakan dua perkara penting untuk terus meneroka angkasa lepas. Islam, Masa Depan Peradaban dan Ilmu Pengetahuan Islam mewajibkan umatnya mencari ilmu konvensional, ilmu keagamaan dan keakhiratan agar perjalanan kehidupan di dunia terarah dan mengikut keredaan Allah dan beroleh kejayaan juga di Hari Akhirat. Adalah menjadi tugas jihad kita juga memperlengkapkan diri dengan ilmu konvensional dan ilmu keagamaan agar nilai kehidupan mempunyai erti di sisi Allah seperti dalam sabda Nabi Muhammad yang bermaksud “Sesungguhnya Allah membenci orang yang berhati kasar kejam dan keras, sombong, angkuh, bersuara keras di pasar tempat umum pada malam hari serupa bangkai dan pada siang hari serupa keldai, mengetahui urusan dunia tetapi jahil bodoh dan tidak mengetahui urusan akhirat.” Hadis riwayat Ahmad. Bukankah menuntut ilmu dan menyebarkan ilmu itu merupakan suatu jihad? Manusia Islam tidak akan berjaya membina peradaban yang cemerlang tanpa mengungguli ilmu pengetahuan, sebab itu tugas penggalian dan penyebaran ilmu itu merupakan satu jihad kerana ia mempunyai signifikan yang cukup besar dalam pembinaan peradaban manusia. Begitu juga bagi penganut agama lain, penguasaan ilmu bukanlah satu pengecualian untuk maju dan terkehadapan. Dalam Islam, tiada ibadah yang lebih afdal melainkan menuntut ilmu. Beribadah dengan ilmu adalah lebih baik berbanding ibadah tanpa ilmu. Mencari ilmu dan menuntut ilmu adalah jihad kerana orang yang berilmu dan cemerlang keilmuannya mampu membangunkan agama, Negara dan masyarakat dan orang yang tidak berilmu dan yang tidak cemerlang dalam ilmunya menunjukkan kelemahan agama. Rasulullah bersabda Yang bermaksud “Kelebihan mukmin yang berilmu berbanding mukmin yang sekadar abid iaitu yang sekadar beribadah tanpa ilmu adalah 70 darjat”. Hadith ini menjelaskan bahawa dalam melakukan amal ibadah kita perlukan ilmu pengetahuan sebagai persediaan. Jika tidak, ditakuti amalan kita itu sia-sia dan tertolak kerana tidak sempurna atau tidak menepati spesifikasi rukun atau prosedur amalan tersebut. Impak Ilmu Pada Masa Depan Peradaban Manusia Saya percaya ilmu dalam peradaban manusia ialah apa yang dapat dimanifestasikan dalam perbuatan, perlakuan dan tingkahlaku manusia. Dalam Islam, nilai ilmu dan pemikiran merupakan unsur terpenting yang menentukan tindakan dan perilaku manusia. Kekalutan dan kecelaruan nilai seperti apa yang betul, salah atau memuaskan akan berlaku. Ia berlaku kerana tiga sebab; pertama, manusia menerima ilmu yang tidak sebenarnya ilmu, kedua, manusia salah memahami ilmu; ketiga, manusia meletakkan akal melebihi nilai wahyu. Nilai tetap akan menjadi perbahasan dalam peradaban manusia. Manusia akan menggerakkan maklumat dan pengetahuan baru mengenai dunia seharian dan membentuk kerangka rujukan yang membolehkan mereka melihat diri, persekitaran, hubungan sesama makhluk dan Tuhan dengan cara baru. Peradaban manusia masa hadapan terpaksa mennghasilkan produk-produk sains dan teknologi yang mampu bertahan zaman berzaman kerana ia akan cepat menjadi “ketinggalan zaman” seperti automobil, kapal terbang, barangan elektrik, televisyen dan lain-lain lagi. Apakah ia tetap akan relevan pada masa hadapan walaupun ianya cukup berharga kerana keantikannya? Pemajuan Ilmu Masa depan peradaban manusia bergantung kepada inisiatif dalam memajukan ilmu pengetahuan melalui pengajaran, pembelajaran, penyelidikan dan pembangunan yang boleh membawa manfaat kepada kesejahteraan agama, bangsa dan negara ataupun peradaban. Faktor lain yang penting ialah kekuatan semangat, motivasi diri dan inspirasi untuk cemerlang. Di samping itu, warga peradaban mestilah bersungguh-sungguh, berdedikasi dan berkualiti dalam kerja ke arah pencapaian terbaik dalam misi, wawasan dan matlamat yang ditetapkan dalam peradaban. Peradaban tidak akan berkembang tanpa tekad, kesungguhan, komitmen, ketrampilan diri dan disiplin yang tinggi warga peradaban untuk mengisi dada dengan kemahiran dan kebolehan dalam pelbagai aspek pembangunan diri dan ilmu pengetahuan yang konvensional maupun ukhrawi. Kita perlulah mempertingkatkan ilmu kita dalam semua aspek dari masa ke semasa. Dalam Islam, proses pembelajaran berlaku sepanjang hayat dan sentiasa berterusan dan tidak terhenti setakat memperolehi sijil ataupun kelulusan. Sabda junjungan besar Nabi Muhammad yang bermaksud “Tuntutlah ilmu daripada buaian sampai ke liang lahad”. Kita perlu tanamkan dalam generasi kita sikap dan semangat untuk unggul dan berjaya dalam semua jenis ilmu pengetahuan. Bangsa yang terkehadapan di dunia sekarang ini dan untuk masa hadapan, adalah bangsa yang mengungguli semua jenis ilmu pengetahuan. Islam telah lama menyarankan soal ini. Kita perlu prihatin tentang sikap dan mentaliti kita tentang soal ilmu pengetahuan sekiranya kita ingin menjadi bangsa yang dihormati di dunia. Sabda junjungan besar Nabi Muhammad yang bermaksud “Sesiapa yang inginkan dunia, maka hendaklah ia berilmu, sesiapa yang hendakkan akhirat, maka hendaklah ia berilmu, sesiapa yang hendakkan kedua-dua nya maka hendaklah ia berilmu.” Pendekatan ilmu dalam sistem pemerintahan dan pentadbiran negara sesuatu tamadun boleh membawa tamadun itu ke satu tahap yang membanggakan. Negara akan dipandang tinggi dan dihormati sekiranya rakyatnya berilmu pengetahuan dan ramai cendekiawannya, membuat penemuan dalam bidang sains, teknologi, sains sosial dan kemanusiaan. Negara akan dipandang tinggi dan dihormati sekiranya rakyatnya bekerja kuat, bersabar, mempunyai integriti dan sinergi, berkualiti dan sling bekerjasama dalam segala aspek kehidupan. Masa Depan Peradaban, Identiti Ilmu dan Pendidikan Pembinaan peradaban dan kemajuannya perlukan penguasaan ilmu pengetahuan. Penguasaan ilmu pengetahuan perlu dititikberatkan melalui pendidikan menurut syarat-syarat dan tatacara agar seseorang dengan mudah dapat membezakan antara yang benar dan yang palsu pada kata-kata, antara kebenaran dan kebatilan di bidang iktikad dan antara yang baik dan yang buruk dalam perbuatan dan tingkah laku. Jika kekuatan ini baik dan luhur, maka daripadanya diperolehi hasil hikmah’ iaitu mengetahui kebenaran melalui ilmu pengetahuan dan amalan. Tujuan pendidikan menurut al-Ghazali adalah kesempurnaan manusia di dunia dan akhirat. Manusia itu akan sampai kepada kesempurnaan sebab manusia itu mendapatkan keutamaan melalui ilmu pengetahuan. Keutamaan itulah yang membuatkan manusia itu bahagia di dunianya dan dekatnya diri dan rohaninya kepada Allah yang menyebabkan dia bahagia di akhiratnya. Al-Ghazali berpendapat ilmu itu sendiri secara mutlak adalah kemuliaan yang tertinggi. Oleh kerana itu dia memandang, menghasilkan ilmu merupakan sasaran pendidikan kerana ilmu mempunyai nilai tertentu kerana kedapatan di dalamnya kelazatan dan sesuatu yang mengenyangkan. Apabila memperkatakan kepentingan ilmu bagi masa depan peradaban, kita tidak boleh mengenepikan aspek pendidikan. Barbara Giles 2003 mencadangkan keperluan para pendidik untuk melengkapkan generasi muda dengan persediaan sepanjang hayat bukannya pada zaman persekolahan sahaja. Dua perkara yang ditekankan oleh beliau ialah pembangunan dan kemahiran insaniah pembentukan nilai-nilai moral dan sikap kerjasama serta bertanggungjawab yang membawa kepada pembinaan karekter komuniti. Walaupun Giles menfokuskan kepada pendidikan menengah, saya melihat pendidikan tinggi perlulah meneruskan dan memajukan pendidikan seterusnya melengkapkan mahasiswa sebagai ”pemegang kunci khazanah ilmu”. Masa depan peradaban bergantung kepada sejauh mana universiti menjalankan fungsi utamanya bagi melahirkan modal insan berminda kelas pertama, berpersonaliti unggul dan bermutu tinggi yang menyumbang kepada kemajuan masyarakat dan juga negara. Saya percaya, universitilah yang melahirkan genius, intelektual, cendekiawan dan para pakar walaupun ia tidak selalunya benar. Daniel Quinn 2000 mengenengahkan dua mindset perubahan minda yang saya percaya perlu bagi kita untuk menggunakan ilmu dengan sebaiknya bagi menghadapi masa hadapan, Pertama, setting minda kita perlu kepada menjawab persoalan “bagaimanakah kita boleh menghentikan perkara buruk daripada berlaku?”. Kedua, “bagaimanakah kita melakukan sesuatu agar ia mengikut dan bertepatan dengan apa yang kita kehendaki?”. Kunci kepada persoalan-persoalan ini ialah perubahan sikap, usaha bersungguh-sungguh dan persediaan ilmu yang mencukupi. Seperti yang telah dijelaskan, identiti negara atau peradaban dengan nilai-nilai moral dan budayanya akan terus berkembang seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan zaman. Identiti ilmu sesuatu peradaban akan menjadi landmark bagi peradaban masa hadapan kerana tanpa ilmu, peradaban tidak akan maju dan berkembang. Kelangsungan peradaban akan berterusan selama mana proses pembelajaran antara peradaban sentiasa berlaku. Seandainya ia berhenti, peradaban akan terbantut dan tidak maju. Perkongsian pintar melalui kerjasama dan persefahaman akan membawa kemajuan kepada peradaban masa hadapan. Jika warga antara peradaban memperlekehkan antara satu sama lain, maka dominasi dan permusuhan akan berpanjangan. Perkembangan ilmu akan terbantut dan tidak membawa manfaat yang diperlukan. Jika kita tinjau kepada tulisan-tulisan Orientalis pada kurun ke 18 dan 19, mereka menekankan kepada kemunduran manusia-manusia Timur dan keagungan manusia-manusia Barat atau ketololan manusia-manusia Timur dan kecerdikan manusia-manusia Barat. Hal ini boleh dilihat dalam kebanyakan buku-buku sejarah pengajian sains dan ketamadunan. Cuba kita senaraikan berapa banyak ilmuan Muslim ataupun Timur yang disebut atau diiktiraf di dalam karya-karya tersebut. Penemuan-penemuan sains yang dilakukan oleh orang-orang Islam disembunyikan dan di”hilang”kan daripada sejarah. Disebarkan peranan para saintis Barat dan sumbangan para intelek Muslim dinafikan. Justeru, masa depan peradaban bergantung kepada bagaimana peradaban Timur dan Barat melihat dan melayani antara satu sama lain. Masa depan peradaban juga bergantung kepada bagaimana kita melihat agama dan penganut agama lain. Masalah akan timbul apabila kita melihat penganut agama lain dengan sikap prejudis, bias dan berat sebelah. Kita melihat secara negatif dan bukan secara positif peradaban lain. Kita perlu melihat peradaban lain dengan perspektif ilmu, bukannya emosi. Sebenarnya, apa yang dikatakan sebagai zaman kebangkitan intelektual Barat Renaissance bermula apabila orang-orang Barat dapat berhubung dengan orang-orang Islam menerusi Sepanyol dan Sicily. Apabila mereka mula berkenal dengan nilai-nilai Islam dalam aspek pemikiran dan sains mereka mula mengorak langkah. Perkara pertama yang paling mempengaruhi Barat hasil daripada perhubungan Barat dan Islam di Sepanyol ini ialah kebolehan umat Islam mengintegrasikan antara iman dan akal minda dan rasional. Mereka belajar cara Islam mendamaikan antara teologi dengan pemikiran atau dengan lain perkataan, akal disesuaikan dengan ilmu-ilmu wahyu. Malangnya, apabila Barat menjadi kuasa besar dunia, mereka telah menggunakan kedudukan dan kuasa mereka untuk menekan umat Islam dan negara-negara Islam. Bahkan sebahagian besar sarjana Barat mengabaikan sumbangan Muslim kepada tamadun dunia kerana mereka lihat Islam dan orang Islam adalah musuh mereka dan orang asing dalam semua aspek kehidupan mereka. Joseph Tainter 1988 dalam bukunya The Collapse of Complex Societies mengenalpasti kejatuhan peradaban manusia adalah kerana kegagalan untuk “menguasai keuntungan marginal” melalui “pelaburan” dalam organisasi untuk menyelesaikan masalah-masalah sosio-ekonomi. Justeru, seandainya manusia ingin memajukan peradaban masa hadapan, maka manusia perlukan penguasaan pelbagai ilmu berkaitan sosio-ekonomi untuk menyelesaikan masalah-masalah sosio-ekonomi. Bukan sahaja manusia perlukan ilmu untuk menyelesaikan masalah sosio-ekonomi, manusia juga perlukan ilmu untuk menyelesaikan masalah-masalah kehidupan lain dalam suasana masyarakat yang semakin kompleks. Ilmu Perpaduan Dan Kelangsungan Perpaduan Masa depan peradaban manusia bergantung kepada sejauh mana manusia mengubah sikap untuk bersatu padu melalui ilmu perpaduan. Sejak 50an lagi penggubal polisi Amerika Syarikat telah menyalahtafsir dunia Islam. Propaganda seperti “pertembungan tamadun-tamadun” the clash of civilizations dan “apakah yang tersalah?” what went wrong? sebenarnya merupakan kesinambungan kesalahtafsiran itu dan terbawa-bawa ke zaman sekarang. Hal ini menyukarkan pembinaan keamanan yang berterusan berdasarkan perkara yang boleh disepakati untuk peradaban masa hadapan. Kita perlukan ilmu perpaduan untuk membezakan di antara kebenaran dan kepalsuan. Kenapa kita masih bersengketa, bercakaran dan bermusuhan? Kenapa kita masih prejudis di antara satu sama lain? Jawapannya mudah, kita tidak memahami perdamaian, perpaduan, perundingan, toleransi, integrasi melalui pendekatan ilmu! Tamadun akan musnah kalau manusia gagal bersatu. Bersatu perlulah melalui ilmu untuk kelangsungan tamadun masa hadapan. Richard W. Bulliet 2004 melihat kesalahan Barat dalam melayani dunia Islam dan politik Islam sehingga berlakunya perbalahan berterusan yang merugikan kedua pihak. Malahan beliau optimis bahawa masa depan hubungan dunia Islam dengan Amerikalah yang bakal menentukan geopolitik dan keamanan dunia di masa hadapan. Masa Depan Peradaban Manusia Impak Kehidupan dan Sosial Pada masa hadapan manusia akan lebih bersikap individualistik. Jalinan sosial masyarakat pada masa sekarang mungkin kelihatan erat seperti kunjung mengunjungi, berkomunikasi dan berinteraksi. Akan tetapi manusia pada masa hadapan mungkin hanya mengenali dirinya dan keluarganya sendiri kerana manusia secara sosial hanya terhubung melalui jaringan internet dan terpisah daripada komuniti sekitarnya. Sudah ada penyelidik yang gusar mengenai tabiat dan kesibukan kerja manusia hinggakan manusia tidak mempunyai masa yang banyak untuk bersama keluarga hatta untuk bersarapan bersama atau bersantai bersama. Struktur bilik dalam rumah pada masa hadapan memungkinkan juga sukarnya sesama ahli keluarga untuk berkomunikasi apatah lagi untuk berinteraksi sosial. Rumah-rumah mewah seperti banglo dengan gated dan guarded security sudah menjadi semacam satu halangan dalam usaha mempraktikkan amalan ziarah-menziarahi. Budaya gotong-royong dalam kenduri-kendara juga sudah semakin terhakis. Tanah-tanah untuk tujuan pembinaan perumahan akan menjadi semakin berkurangan. Oleh yang demikian, manusia akan menimbus paya, laut dan tanah gambut untuk membina rumah. Akan wujud juga kecenderungan untuk tinggal di apartment dan kondominium. Persoalannya, apakah manusia akan mampu memiliki rumah pada masa yang akan datang dengan kenaikan harga rumah di antara 15% hingga 25% setahun? Richard Watson 2010 dalam bukunya yang berjudul “The Next 50 Years” meramalkan akan berlakunya perubahan dalam pola keanggotaan parti politik dan perubahan dalam kepercayaan kepada parti politik. Beliau memberi contoh, di England keanggotaan dalam parti politik menurun sebanyak 50% sejak tahun 1980, dan begitu juga tahap komitmen para pengundi dan kepercayaan masyarakat terhadap parti politik dan ahli politik. Kelompok pengundi meletakkan harapan yang tinggi kepada ahli politik untuk menghadapi ancaman terorisme, membawa negara bersaing di peringkat global dan menyuarakan aspirasi nasional di forum antarabangsa dan kebolehan mempengaruhi agenda politik global. Apa yang lebih penting ialah kebolehan ahli politik menyelesaikan masalah sosio-ekonomi rakyat jelata adalah impian rakyat mana-mana negara. Watson juga melahirkan kebimbangan mengenai perhatian yang diberikan oleh setiap warga negara kepada kepentingan-kepentingan nasional dengan lunturnya semangat negara bangsa terutamanya apabila berlaku penghijrahan pekerja-pekerja mahir dan profesional ke negara-negara bukan asal. Kebangkitan China dan India dalam sektor ekonomi juga menunjukkan peningkatan yang ketara dalam konteks globalisasi. Penguasaan Barat ke atas Timur tidak lagi menjadi selalunya benar. China dan India sekarang ini sedang menuju ke arah penguasaan pasaran Amerika dan Eropah. Teori globalisasi ekonomi juga menjadi semakin goyah dengan kebangkitan kuasa ekonomi Asia. Kekuatan perdagangan regional semakin memuncak dengan meningkatnya lima kali ganda perjanjian perdagangan regional. Watson juga meramalkan pada tahun 2030 komputer akan menjadi lebih pintar daripada manusia. Mesin pula akan berfungsi tanpa dikendalikan manusia. Gabungan teknologi komputer, robotik dan teknologi nano akan memungkinkan penciptaan “benda” yang meniru diri mereka sendiri. Oleh yang demikian, kita tidak dapat membayangkan jika penciptaan tersebut menghasilkan sesuatu yang luar biasa di luar daripada jangkauan akal manusia. Komputer riba Asus sudah boleh mengecam raut wajah pemiliknya untuk tujuan keselamatan dan mengaktifkannya. Jika ia dicuri, sukar orang untuk menghidupkannya kerana ia boleh mengecam wajah pemiliknya yang telah disetkan sebelumnya. Media pula akan semakin mempengaruhi manusia dengan revolusi maklumat. Lebih banyak inovasi dan kreativiti akan berlaku dalam bidang media. Akhbar The Times dan The Independent dicetak dalam dua bentuk ukuran agar mudah dibaca. Hegemoni Barat dalam konteks pengaruh media akan semakin kukuh sebagai faktor dominan penjajahan pemikiran dan kemajuan budaya kuning. Dalam bidang kewangan, penggunaan wang tunai akan menjadi semakin tidak perlu. Manusia akan beralih kepada urus niaga maya dan digital. Sekarang, perkara ini sudah berlaku dengan amat pantas. Kita membayar bil telefon, kad kredit, Astro, sewa beli dan seumpamanya melalui pembayaran atas talian tanpa menggunakan wang tunai. Dengan satu klik sahaja segalanya beres. Membeli-belah secara atas talian juga semakin berleluasa. Agensi penyelidikan komersial AC Nielsen mengandaikan pada tahun 2020, transaksi yang melibatkan tunai dalam semua urusan hanya berlaku pada kadar 10% sahaja berbanding keseluruhan transaksi. Ada juga yang mengandaikan bahawa pada tahun 2050 kita akan memiliki hanya satu matawang global digital. Semua ramalan dalam filem yang berunsur sains fiksyen boleh berlaku. Jika ramalan itu digabungkan dengan data dan fakta empirikal, tidak mustahil sesuatu yang diramalkan itu akan berlaku pada masa hadapan. Setidak-tidaknya kita boleh mengenalpasti trend dan kecenderungan sains dan teknologi pada masa hadapan. Dunia sedang bergerak dengan pantas dan transformasi kehidupan akan berlaku secara mendadak. Cabaran kepada Peradaban Islam Pluralisme Agama Terdapat dua perkara penting yang perlu kita ketahui apabila membincangkan persoalan pluralisme. Pertama pluralisme dalam pengajian etnik dan kedua pluralisme dalam konteks agama. Pluralisme dalam konteks agama atau pluralisme agama adalah fahaman yang sangat merbahaya dan menjadi fokus perbincangan kita pada hari ini. Manakala pluralisme dalam pengajian hubungan etnik adalah perbahasan berkaitan kepelbagaian dalam masyarakat. Sebelum kita pergi lebih jauh, eloklah kita bincangkan dahulu pluralisme dalam pengajian etnik atau pengajian hubungan etnik. Pluralisme dalam konteks ini adalah suatu keadaan masyarakat berbilang bangsa atau kemajmukan masyarakat. Disiplin ilmu pluralisme dalam hubungan etnik mencakupi sebab-sebab berlaku kemajmukan, ciri-ciri kemajmukan, asal-usul bangsa, polisi dan dasar berkaitan etnik dan implikasi daripada kemajmukan. Pluralisme dalam konteks ini juga menimbulkan persoalan-persoalan kenegaraan di dunia dan sering mengundang berbagai penyelesaian. Akibat daripada kemaraan globalisasi, masyarakat berbilang kaum menjadi semakin rencam dari segi budaya dan heterogeneous. Situasi semasa juga menjadi semakin kompleks dengan berlakunya migrasi dan pembangunan. Dilema bagi setiap negara ialah sama ada kepelbagaian etnik dikekalkan atau pendekatan-pendekatan menangani kepelbagaian etnik dilakukan pengubahsuaian. Terdapat juga pendapat yang menyatakan bahawa kepelbagaian atau pluralisme etnik merupakan satu keunikan dan kekuatan bagi sesebuah negara. Terdapat juga kerajaan di dunia yang menghargai kepelbagaian agama, persaingan antara etnik dan berusaha menyelesaikan masalah-masalah berkaitan hubungan etnik. Semua ini termasuk dalam perbahasan mengenai pluralisme dalam hubungan etnik. Kita beralih pula kepada pluralisme agama. Isu pluralisme agama menimbulkan fenomena baru dalam pemikiran Islam. Ia mencetuskan pelbagai kontroversi dalam dunia Islam dan antarabangsa serta menggugat akidah umat Islam. Di antara ciri pluralisme agama ialah 1. Ia mempunyai satu gerakan yang terancang yang berlindung di bawah gerakan-gerakan seperti global ethics, human rights dan interfaith dialogue atau dialogue of faith dan civilizational dialogue. 2. Ia mempunyai jaringan luas hampir di seluruh dunia termasuklah Malaysia dan telah lama berakar umbi di Indonesia. 3. Ideologi dan fahaman pluralisme agama merupakan suatu serangan mental dan penjajahan pemikiran yang berbahaya terhadap Islam serta penganutnya. Ia dilakukan secara halus untuk mengelirukan pemikiran umat Islam atas nama rasional, toleransi dan perpaduan. 4. Ia mempunyai elemen-elemen fahaman Islam Liberal, sekularisme, rasionalisme, penolakan terhadap autoriti keagamaan, longgar dalam perbahasan mengenai hakikat kebenaran sesuatu agama dan sentiasa cuba menyamaratakan ajaran-ajaran agama yang berbagai. 5. Ia mempromosi nilai-nilai Barat dengan berselindung di sebalik slogan dan penekanan kepada terminologi universal values, good values, shared-values, positive values, noble values dan istilah-istilah yang lunak didengari. 6. Ia menanam bibit kekeliruan dan ketidakpastian dengan menggunakan moto yang kelihatan baik dan muluk seperti “One God Different Ways”, “Unity in Diversity”, dan lain-lain lagi. 7. Ia memisahkan nilai daripada agama dengan menyatakan nilai sejagat atau universal mengatasi kebaikan nilai agama dan ini menidakkan peranan agama dalam kehidupan seseorang. 8. Apabila fahaman ini menyatakan nilai-nilai yang diterima majoriti itu adalah suatu kebaikan, maka ia sebenarnya menolak autoriti agama, kesahihan agama dan keabsahan agama. 9. Ia memperjuangkan kebebasan mengeluarkan pendapat dalam beragama kononnya setiap orang berhak untuk memberikan pandangan walaupun pandangan itu sebenarnya bertentangan dengan agama atau pandangan itu boleh menyakiti penganut-penganut agama lain. 10. Metodologi yang digunakan mereka iaitu relativisme iaitu dengan menyatakan bahawa kebenaran adalah relatif dan tidak boleh didakwa mana-mana pihak, yang bertujuan kononnya memberi kebebasan yang mutlak dalam mengeluarkan pendapat dalam agama masing-masing. Jika kebenaran adalah relatif, maka agama juga bermakna bukanlah sesuatu yang benar dan tidak mutlak. 11. Pluralisme agama lebih cenderung meletakkan neraca akal melebihi neraca agama kerana akal dianggap sebagai berautonomi dan mampu memikirkan segala-galanya. Sebagai orang Islam, kita perlu berhati-hati, berwaspada dan berawas dengan gerakan fahaman pluralisme agama kerana matlamat akhir gerakan ini ialah menghapuskan semua agama. Apabila nilai akal diletakkan diletakkan lebih tinggi daripada agama, maka agama tidak lagi mempunyai sebarang signifikan dan peranan. Apa yang penting ialah kita perlu berpegang teguh dengan agama Allah agar kita tidak terpesong. Allah telah berfirman dalam surah al-An’am, ayat 153 Bermaksud “Dan bahawa sesungguhnya inilah jalan-Ku agama Islam yang betul lurus, maka hendaklah kamu menurutinya, dan janganlah kamu menurut jalan-jalan yang lain dari Islam, kerana jalan-jalan itu mencerai-beraikan kamu dari jalan Allah. Dengan demikian itulah Allah perintahkan kamu supaya bertakwa.” Kesimpulan Masa lepas dan masa depan peradaban manusia tidak akan sempurna tanpa apresiasi tentang interaksi, proses transmisi, pinjam-meminjam dan pengayaan antara peradaban Timur dan Barat. Semestinya, kesemua elemen ini cukup-cukup berkait rapat dengan hal ehwal ilmu pengetahuan. Barat terhutang budi kepada Islam hasil dari interaksi peradaban yang berlaku hampir 14 abad. Islam juga terhutang budi kepada tamadun-tamadun agung dunia. Buku ini telah membincangkan dengan panjang lebar mengenai Islam yang dinamik. Jelaslah bahawa sesungguhnya jalan Allah iaitu agama Islam yang betul lurus mestilah diikuti oleh semua umat manusia dan Allah juga telah memperingatkan kita agar janganlah kita menurut menurut jalan-jalan yang lain dari Islam kerana jalan-jalan yang lain itu mencerai-beraikan insane dari jalan Allah. Rujukan Amini Amir Abdullah 2011, “Masa Depan Peradaban Manusia Impak Kehidupan dan Sosial”, Suara Pusat Islam Universiti Putra Malaysia, 8 April. Amini Amir Abdullah 2011, “Ciri-Ciri Pluralisme Agama”, Suara Pusat Islam Universiti Putra Malaysia, 25 Mac. Amini Amir Abdullah 2009, “Masa Depan Peradaban Manusia Masalah Akibat Penyalahgunaan Dadah Dan Kes Jangkitan HIV AIDS”, Suara Pusat Islam Universiti Putra Malaysia, 29 Mei. Bulliet, Richard W. 2004, The Case For Islamo-Christian Civilization 2004, Columbia University Press, Columbia, US. Gilles, Barbara Ray dan Kirby, Richard S., 2004, Nurturing Civilization Builders Birthing The Best Schools in the World, Oak Forest Press and Ideal Profit Inc., Milford, USA. Hunter, Richard 2002, World Without Secrets Business, Crime and Privacy in the Age of Ubiquitous Computing, John Wiley and Sons Inc., New York. Madsen, Cathie, Disember 2006, “Crime Rates Around The World”, Tainter, Joseph 1988 The Collapse of Complex Societies. Cambridge Cambridge University Press. Volsung, Baron Von 2003, Engineering The Future of Civilization, First Edition, March 2003, Great UNpublished, LLC, North Charleston, USA. Quinn, Daniel 2000, Beyond Civilization Humanities Next Great Adventure, Harmony Books, New York. Wallahu A’lam ResearchGate has not been able to resolve any citations for this Depan Peradaban Manusia Impak Kehidupan dan SosialAbdullah Amini AmirAmini Amir Abdullah 2011, "Masa Depan Peradaban Manusia Impak Kehidupan dan Sosial", Suara Pusat Islam Universiti Putra Malaysia, 8 Pluralisme AgamaAbdullah Amini AmirAmini Amir Abdullah 2011, "Ciri-Ciri Pluralisme Agama", Suara Pusat Islam Universiti Putra Malaysia, 25 Civilization Builders Birthing The Best Schools in the WorldBarbara GillesRay DanRichard S KirbyGilles, Barbara Ray dan Kirby, Richard S., 2004, Nurturing Civilization Builders Birthing The Best Schools in the World, Oak Forest Press and Ideal Profit Inc., Milford, Without Secrets Business, Crime and Privacy in the Age of Ubiquitous ComputingRichard HunterHunter, Richard 2002, World Without Secrets Business, Crime and Privacy in the Age of Ubiquitous Computing, John Wiley and Sons Inc., New Rates Around The WorldCathie MadsenMadsen, Cathie, Disember 2006, "Crime Rates Around The World",
masa depan dunia menurut islam